Tag Archives: Teknik kelautan

REKLAMASI PESISIR KOTA CIREBON; TANTANGAN IMPLEMENTASI ICZM

Akmal Lutfitansyah, Matthew Abel Emanuel, Farel Noval Jamaluddin, Bryan Kevina Candra (Fakultas Teknologi Kelautan FTK ITS)


Kawasan pesisir merupakan kawasan yang sangat sentral dan penting dalam suatu wilayah. Di sisi lain, kawasan ini juga berpotensi mengalami berbagai gangguan, misalnya komodifikasi ruang. Komodifikasi area pesisir oleh pihak-pihak tertentu dengan tujuan mengapitalisasi modal membuat area ini rentan berubah secara spasial.

Wujud komodifikasi itu, misalnya, membangun kawasan hunian baru (perumahan), infrastruktur transportasi, kawasan industri, mendirikan pelabuhan, mencetak lahan pertanian, melakukan budidaya tambak, dan industri pariwisata.

Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihan antara ekosistem laut dan darat yang dipengaruhi oleh perubahan di laut dan darat. Wilayah pesisir yang demikian kompleks kepentingan dan kebutuhan penghidupan, memerlukan pengelolaan yang berkelanjutan untuk meningkatkan nilai ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pengelolaan wilayah pesisir meliputi pemanfaatan, perencanaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan lautan.
Pembangunan kawasan pesisir harus mengacu pada prinsip keberkelanjutan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan.

Pembangunan kawasan pesisir yang berkelanjutan, sejatinya dapat dilakukan dengan cara reklamasi pantai (memperluas wilayah pesisir), minapolitan, pembangunan waterfront city, dan lain lain-lain, yang dikarenakan keterbatasan wilayah pesisir sehingga membuat perluasan area kearah laut menjadi tidak terhindarkan.

Untuk hal itu, pengelolaan wilayah pesisir agar terus berkelanjutan membutuhkan penataan yang terintegrasi dan terpadu dengan memenuhi berbagai fasilitas penunjang prasarana dan sarana di kawasan pesisir tersebut, inilah yang disebut konsep ICZM (Integrated Coastal Zone Management).

Waterfront city Kota Cirebon

Pembangunan waterfront city di berbagai lokasi ditujukan dapat mengatasi permasalahan keterbatasan wilayah yang kecil sebagai perluasan wilayah daratan, tak terkecuali Kota Cirebon yang sedang berkembang sekaligus memperbaiki kerusakan pantai akibat abrasi.

Reklamasi pesisir Kota Cirebon yang telah dilakukan secara bertahap, salah satunya untuk perluasan kawasan pelabuhan Cirebon, yang sangat dibutuhkan sebagai penunjang prasarana dan sarana pelabuhan sebagai pintu keluar masuk logistik Kota Cirebon.

Pembangunan waterfront city dengan cara reklamasi adalah untuk penempatan sarana penunjang pelabuhan, dan juga sekaligus dapat berfungsi memperbaiki kondisi kawasan pesisir dan menjaga agar tetap baik.

Selain itu disisi lain juga dapat desain sebuah kawasan budidaya yang terintegrasi dengan sarana pengolahan hasil budidaya tambak dan tangkapan laut, sehingga akan memperpendek rantai distribusi, hemat waktu, dan dengan tujuan dapat meningkatkan sektor perikanan dan kelautan yang memiliki potensi sangat besar dalam hal budidaya tambak serta pengolahan hasil laut, yang pada gilirannya juga dapat meningkatkan penghasilan petambak dan nelayan.

Kedua hal diatas penting dalam pembangunan waterfront city, mengingat Kota Cirebon memiliki posisi dengan letak geografis sangat strategis yang merupakan salah satu jalur utama pesisir utara Jawa dalam transportasi laut dari Jakarta menuju Jawa Barat dan Jawa Tengah di pesisir utara kota-kota wilayah ini.


Selain itu kondisi pesisir kota Cirebon yang terus memburuk akibat adanya abrasi dan sendimentasi baik dari sungai maupun akibat penumpukan sampah, yang berdampak pada sebagian besar pesisir pantai Kota Cirebon tidak layak lagi untuk dijadikan tempat pariwisata bahari.


Oleh karena itu, gagasan Pemerintah Kota dalam perencanaan pembangunan waterfront city perlu memperhatikan kondisi di sekitar pesisir pantai terutama gelombang laut, serta pola sedimentasi yang terjadi dan berbagai hal lainnya, guna melindungi pantai, salah satu caranya dengan memberikan pemecah gelombang lepas pantai.

Dengan permasalahan kawasan pesisir di kota Cirebon diatas, serta dengan kebutuhan ruang untuk pengembangan kota dan sarana logistik, serta untuk menghindari tumpang tindih alokasi ruang dan tidak memperburuk rusaknya kondisi fisik kawasan pesisir yang dapat mengancam keberlanjutan kehidupan penduduk pesisir, maka diperlukan keterpaduan dan koordinasi dalam penataan yang saling terintegrasi dan saling menunjang dalam kawasan waterfront city dari hasil reklamasi pesisir tersebut adalah dengan pendekatan ICZM.

Dampak positif yang diharapkan

Diharapkan dengan adanya reklamasi yang diatasnya dibangun waterfront city akan menjadi solusi pemecahan masalah kawasan pesisir Kota Cirebon, serta mendukung hubungan pola ruang dan elemen penting sosial ekonomi budaya masyarakat Kota Cirebon.

Selain diharapkan dapat mengatasi abrasi pantai dan pengelolaan sampah laut, kawasan watefront city juga dapat dialokasikan untuk pemukiman nelayan, sehingga kawasan nelayan yang biasanya terkesan kumuh dapat tertata dan terintegrasi dengan rencana pasar higienis dan industri pengolahan hasil laut nantinya.

Selain itu, Kota Cirebon sebagai salah satu tujuan wisata religi peninggalan Kesultanan Cirebon, dan tradisi batik khas Cirebon, batik trusmi juga menjadi salah satu daya tarik terkuat bagi pengembangan wisata bahari dan religi. Sehingga pembangunan waterfront city diharapkan dapat mengakomodir alokasi ruang untuk hal ini.

Dan yang terakhir untuk menjadi tempat pengolahan limbah mandiri dan terintegrasi, sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif sampah dan limbah domestik dan industri dikawasan waterfront city Kota Cirebon ini. Pada saat ini proyek pembangunan waterfront city Cirebon masih dalam tahap pembangunan dan masih berlanjut hingga sekarang, yang sudah dimulai sejak tahun 2018, dan semua unsur masyarakat Kota Cirebon terus berharap dampak positif dari pembagunan ini tidak hanya ada saat proses pembangunan dengan penyerapan tenaga kerja, namun juga setelah selesainya proyek dengan alokasi ruang yang terintegrasi diatasi.

MARINE ECO TOURISM DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

Mevlevi Haydar As Shafa, Gede Manik Aryadatta Narendra,Zein Afandi, I Putu Crisna Putra Ardhika, Athif Izza Maula (Teknik Kelautan FTK ITS)

Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke dan menjadi negara maritim di dunia dengan luas teritorial lautnya mencapai 6.4 juta km2 atau 63% dari total keseluruhan wilayah negara Indonesia (Pushidrosal, 2018). Hal ini menjadikan
wilayah pesisir Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah.

Keberadaan sumber daya alam yang melimpah tersebut menjadikan wilayah pesisir Indonesia yang sangat panjang tersebut sangat produktif dan berpotensial besar dalam pengembangan perekonomian (Supriharyono, 2007).

Eco-tourism

Pemanfaatan di wilayah pesisir memang berpotensial dalam membantu pertumbuhan ekonomi wilayah seperti contohnya yakni pemanfaatan wilayah pesisir sebagai objek pariwisata. Ekowisata bahari (Marine Eco-Tourism) merupakan konsep kegiatan wisata berbasis alam dengan dampak negatif yang minimal terhadap lingkungan. Konsep wisata ini bertujuan untuk mencapai hubungan yang lebih berkelanjutan antara alam, sosial-budaya, ekonomi dan tetap mengandung nilai edukasi kepada masyarakat. Disisi lain ekowisata bahari sebagai suatu bentuk atau upaya dari reaksi terhadap keberlanjutan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara bersamaan di wilayah pesisir.

Taman Nasional Karimunjawa

Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di Kabupaten Jepara. Di TNKJ terdapat kekayaan keanekaragaman hayati dimana memiliki 72 genera karang dari 19 famili. Acropora dan Porites merupakan genera karang yang mendominasi di keseluruhan gugusan terumbu dengan berbagai bentuk pertumbuhan (Muttaqin et al.,2013).

Pemandangan alam bawah laut Karimunjawa

Dengan ekosistem terumbu karang yang terjaga diatas, menjadikan habitat ikan karang sebagai sumber mata pencaharian nelayan sekitar. Terdapat 16 famili ikan karang yang teridentifikasi di TNKJ, terdiri atas: Acanthuridae, Balistidae, Caesionidae, Chaetodontidae, Haemulidae, Labridae,

Lethrinidae, Lutjanidae, Mullidae, Nemipteridae, Pomacanthidae, Pomacentridae, Scaridae,
Serranidae, Siganidae
, dan Tetradontidae.
Dimana hasil tangkapan utama nelayan sekitar adalah ikan ekor kuning (Caesio cuning, Caesio teres) dan ikan pisang-pisang (Caesio caerulaurea). Sejak tahun 2010 terjadi peningkatan famili Pomacentridae sejak diberlakukannya larangan penangkapan ikan hias di TNKJ. Famili Caesionidae, juga mengalami peningkatan kelimpahan sebagai hasil dari semakin berkurangnya kegiatan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing).

Sebagai kawasan konservasi, kegiatan pariwisata di TNKJ juga mendapat perhatian utama. Para wisatawan yang datang ke TNKJ harus merupakan wisatawan yang “cerdas” dengan tidak merusak alam sekitar ketika melakukan kegiatan wisata seperti misalnya snorkling dan diving. Hal lain yang tidak diperbolehkan adalah membuang sampah sembarangan karena dapat mengganggu ekosistem perairan Karimunjawa.

Tidak hanya kegiatan pariwisata, kegiatan nelayan juga harus diperhatikan. Seperti misalnya menggunakan cara penangkapan ikan yang bersifat destructive dan tidak menangkap yang tergolong ikan hias. Jika kegiatan wisata dan kegiatan nelayan dapat bersinergi maka tentunya dapat menjaga kelestarian ekosistem TNKJ.

Pariwisata Bahari TNKJ

Setiap tahunnya TNKJ telah menerima kunjungan wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara, oleh karena itu TNKJ merupakan salah satu daerah tujuan wisata unggulan di Jawa Tengah. Pada tahun 2019 rentang bulan Januari sampai Maret, jumlah pengunjung ke kawasan TNKJ berjumlah 21.919 orang. Berdasarkan asal pengunjung secara umum terdapat 20.678 pengunjung domestik dan 1.241 pengunjung mancanegara (Disparbud Jepara, 2019).

Berdasarkan data tersebut jumlah wisatawan selalu meningkat dari tahun ke tahun sebelum
akhirnya menurun ketika pandemi covid-19.

Peran ICZM dalam Pengembangan Ekowisata Bahari di TNKJ

Pngelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (ICZM) adalah kunci untuk menyelesaikan masalah dan
konflik kelestarian alam dan pariwisara di TNKJ adalah sangat kompleks. Berdasarkan karakteristik dan dinamika alam pesisir TNKJ, potensi dan permasalahannya, ICZM merupakan alternatif dalam pembangunan pesisir serta mencapai sistem kelautan secara optimal dan berkelanjutan. Dalam prakteknya perlu adanya koordinasi terintegrasi antar lembaga/institusi untuk menyelaraskan antara kepentingan, prioritas, dan tindakan.

Oleh karena itu, peranan ICZM sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat
sekitar pesisir Karimunjawa yang bergantung pada sumber daya pesisir, serta menyediakan
kebutuhan pembangunan (khususnya pembangunan yang bergantung pada pesisir) dengan tetap mempertahankan keanekaragaman dan produktivitas ekosistem pesisir untuk mencapai dan mempertahankan fungsi dan/atau tingkat kualitas sistem pesisir yang diinginkan.

EKOWISATA PULAU MAITARA MALUKU UTARA

Haarits Rayhan, Muhammad Anugerah Pragnyono, Dion Presetyo Sondakh, Selly Nurul Hikmayanti, Nurul Karunia (Teknik Kelautan FTK ITS)

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri pariwisata. Industri pariwisata di dunia serta khususnya Indonesia secara keseluruhan telah berkembang pesat. Perkembangan industri tidak hanya berdampak pada peningkatan pendapatan devisa negara, tetapi juga memperluas peluang usaha untuk mengatasi pengangguran lokal dan menciptakan lapangan kerja baru di masyarakat.

Sektor pariwisata juga merupakan salah satu dari tiga penghasil devisa terbesar di provinsi Indonesia. Kebijakan kepariwisataan itu sendiri sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Pulau Maitara

Kota Tidore merupakan wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Utara adalah salah satu kabupaten kepulauan, dengan potensi alam yang yang dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata bahari.

Salah satu daerah wisata tersebut, adalah Pulau Maitara yang sudah terkenal, dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata dengan mengedepankan tatanan budaya di daerah Maluku Utara sehingga memberikan dampak yang minimal terhadap pergeseran nilai-nilai budaya, defleksi serta perilaku masyarakat di wilayah Pulau Maitara. Tentu saja sejak dari perencanaan harus membuka kesempatan dan keterlibatan dari warga dalam mengembangkan kawasan tersebut.

Pulau Maitara terletak di antara Pulau Tidore dan selatan Pulau Ternate, atau lebih tepatnya berada di Kota Tidore Kepulauan (Tikep) yang secara administrasi masuk kedalam Kecamatan Tidore Utara Kota Tidore Kepulauan Propinsi Maluku Utara. Pulau Maitara merupakan pulau kecil yang berpenduduk.

Daya Tarik Wisata Pulau Maitara

Dari segi potensi alam yang dimiliki, Pulau Maitara memiliki beberapa bentang alam yang menarik dan layak dikunjungi, antara lain pegunungan, pantai, hutan, udara, dan kekayaan laut. Secara fisik, Pulau Maitara didominasi oleh kawasan perbukitan dan pegunungan yang berfungsi sebagai hutan lindung. Keberadaan gunung ini memiliki keindahan yang jika dilihat dari luar pulau Maitara, wisatawan tertarik untuk mendekat dan mengunjungi pulau tersebut. Pegunungan di Pulau Maitara juga memiliki lereng yang landai dan curam. Lereng gunung pulau Maitara yang landai menarik wisatawan untuk panjat tebing karena relatif mudah dilalui oleh pendaki.

Bentang alam pesisir memiliki ekosistem mangrove yang menarik. Kondisi pantai yang landai dan ombak air yang relatif tenang membuat suasana pantai sangat bersahabat bagi wisatawan. Keunikan pantai Maitara adalah pasir putihnya yang berbeda dengan jenis pasir pantai di bagian pantai Tidore lainnya.

Kekayaan bawah laut Pulau Maitara mengandung ekosistem terumbu karang yang cocok untuk dikunjungi melalui kegiatan wisata diving dan snorkeling.

Sedangkan dari segi potensi budaya, Keanekaragaman suku dan cara hidup sosial merupakan kombinasi unik dari kehidupan masyarakat dan berbagai keunikan budayanya karena pulau maitara terdiri dari keturunan suku Tidore, Makian, dan Bugis.

Paulau Maitara juga memiliki beberapa kesenian yang menarik, dan Tari Soya Soya merupakan tarian yang istimewa dan istimewa yang menghibur para tamu. Kesenian ini sangat mendukung pengembangan pariwisata ramah wisatawan. Seni acara Tariqa dan Badabas juga dapat ditemukan di pulau Maitara.

Untuk potensi wisata unggulan pulau maitara sendiri, terdapat tiga tempat yang wajib dikunjungi yaitu, wisata tugu uang seribu, wisata pantai ake bai, dan wisata hutan mangrove maitara.

Pemberdayaan Masyarakat

Upaya pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktifitas dan perekonomian masyarakat Pulau Maitara sehubungan dengan pengelolaan ekowisata antara lain, pertama dengan meningkatkan solidaritas dan aksi kolektif masyarakat Pulau Maitara. Pemberdayaan melalui pengembangan aksi kolektif yang merupakan suatu aksi bersama yang bermuara pada kesejahteraan setiap anggota secara individu. Untuk pengelolaan wilayah ekowisata harus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat sehingga tingkat kesejahteraan dapat dicapai.

Kedua, pendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya guna. Upaya meningkatkan pendapatan dilakukan melalui perbaikan teknologi, mulai dari teknologi produksi hingga pasca produksi dan pemasaran. Dengan peran teknologi pengelolaan pariwisata dapat dilakukan dengan maksimal.

Ketiga, mendekatkan Masyarakat dengan pasar
Pengembangan ekowisata perlu diimbangi juga dengan promosi pada khalayak ramai. Dengan ekowisata yang dikenal banyak orang dan terus berkembang akan memberikan feedback positif untuk masyarakat Pulau Maitara.

Keempat, mendekatkan Masyarakat dengan sumber modal. Hal penting yang harus dilakukan adalah memastikan modal dalam pengembangan ekowisata dapat dianggarkan. Perlu adanya koordinasi dengan pemerintah untuk modal awal. Yang nantinya juga akan berdampak pada perkembangan pariwisata Indonesia.


Konsep ICZM dalam pengembangan Ekowisata Pulau Maitara

Pengelolaan wilayah pulau Maitara sebagai Kawasan ekowisata merupakan suatu komponen yang harus dilakukan guna menunjang pembangunan di Indonesia. Sehingga perlu dilakukan perencanaan yang matang. Untuk wilayah pesisir metode yang dapat digunakan yaitu ICZM yang merupakan suatu pendekatan yang komprehensif yang dikenal dalam pengelolaan wilayah pesisir, berupa kebijakan yang terdiri dari kerangka kelembagaan dan kewenangan hukum yang diperlukan dalam pembangunan dan perencanaan pengelolaan untuk kawasan pesisir yang terpadu dengan tujuan lingkungan hidup dan melibatkan seluruh sektor yang terkait.

Pemberdayaan masyarakat secara khusus dan eksistensi masyarakat secara umum perlu diinternalisasikan dalam pengembangan, perencanaan, serta pelaksanaan pengelolaan sumber daya pesisir secara terpadu. Faktor kemitraan antara seluruh stakeholder dalam proses perencanaan hingga evaluasi harus ditumbuhkembangkan. Komponen-komponen yang terlibat dalam kemitraan pengeloaan pesisir, antara lain adalah masyarakat lokal, perintah (pusat dan daerah), LSM, media massa, swasta, donor, organisasi internasional, masyarakat ilmuwan. Beberapa aspek yang berkenan dengan masyarakat adalah kekuatan penentu (driving forces) status dan eksistensi suatu kawasan pesisir.

KAMPUNG LAUT BONTANG KUALA MENUJU SMART MARINE ECO TOURISM

Elang Setia Pratama, Dedy Rizaldy, Adiwira Surya Susanto, Tyas Naufal Hilmy (Teknik Kelautan FTK ITS)

Indonesia merupakan negara dengan potensi dan sumber daya alam laut yang melimpah, di mana luas wilayah perairannya mencapai 3,257 juta km2 sesuai dengan yang tertera pada United Nation on the Law of the Sea ( UNCLOS ). Potensi perairan yang besar ini dapat mendukung program Blue Economy, sebuah program yang dicanangkan oleh World Bank untuk mendukung pemanfaatan sumber daya alam laut di berbagai sektor, seperti pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pekerjaan dengan tetap memperhatikan kesinambungan dan menjaga keasrian ekosistem laut.

Blue Economy

Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ( Bappenas ), Indonesia sendiri sudah menyiapkan rancangan pengembangan ekonomi di daerah- daerah pesisir yang sesuai dengan prinsip Blue Economy. Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi pemanfaatan perairan yang besar sehingga dapat mendukung tujuan Blue Economy adalah Kampung Laut Bontang Kuala. Daerah ini terletak di wilayah timur Kota Bontang dan berada di pesisir barat perairan Selat Makassar. Dengan jumlah penduduk sebanyak 4.823 jiwa dan luas wilayah sebesar 585 Ha, Kampung Laut Bontang Kuala menyimpan dan menyajikan keindahan alam berupa hamparan laut dan ombak yang luas, serta menjadi tujuan wisata lokal maupun mancanegara. Tidak hanya itu, daerah ini juga dijadikan sebagai tempat konservasi mangrove dan tumbuhan laut lainnya.

Kampung Laut Bontang berpotensi dikembangkan menjadi Marine Eco Tourism dan dilengkapi dengan teknologi penghasil energi bertenaga ombak dan arus laut sehingga pemanfaatan dan pengembangan daerahnya sesuai dengan prinsip Blue Economy, yaitu pemanfaatan sumber daya alam perairan yang berkesinambungan.

Wisata Bahari Kampung Laut Bontang Kuala

Kampung Laut Bontang Kuala merupakan kawasan wisata bahari dengan berbagai fasilitas yang menunjang turis lokal maupun mancanegara untuk menikmati keindahan perkampungan di atas laut yang juga pemandangan ombak laut itu sendiri. Tempat wisata ini memiliki komoditas unggulan di bidang perikanan, seperti udang, kepiting, ikan kerapu, dan perikanan lainnya. Hasil dari perikanan yang ditangkap oleh nelayan setempat dapat langsung diperjual belikan dan diolah langsung untuk diminati oleh turis sehingga memberikan pengalaman menikmatin sajian laut yang segar dan langsung dari nelayannya.

Selain itu, Kampung Laut Bontang Kuala juga menyajikan keindahan alam lainnya seperti hutan mangrove dan terumbu karang yang berada di sekitar kawasan Kampung Laut Bontang Kuala. Turis dapat menikmati pemandangan laut dan hamparan hutan mangrove serta terumbu karang yang luas.

Pemandangan laut Kampung Laut Bontang Kuala


Ritual Adat Pesta Laut Mencera Buluh

Kampung Laut Bontang Kuala juga menawarkan pengalaman menyaksikan kehidupan khas nelayan suku Bugis dengan berbagai tradisi dan budaya yang masih kental. Pengunjung dapat menikmati perayaan pesta laut yang diadakan tiap akhir tahun oleh nelayan lokal. Pesta laut ini merupakan pesta adat yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa atas hasil yang didapatkan saat melaut. Pesta Laut ini rutin diselenggarakan di pertengahan bulan November hingga Desember dengan berbagai susunan acara dan ritual adat.

Salah satu yang terkenal adalah ritual adat Mencera Buluh atau diartikan dalam bahasa Indonesia adalah menjamu kampung. Tujuan ritual adat ini adalah untuk memberitahu dan menghormati roh penjaga perairan kampung Bontang Kuala dengan meletakkan darah ayam kampung dan pembuatan singgasana dari rotan dan janur kuning yang diikat dan dianyam. Selanjutnya adalah Melabuh Perahu, sebuah ritual adat di mana sebuah perahu kecil dilabuhkan sambil diiringi oleh musik tradisional masyarakat sekitar, seperti gendang dan gelintangan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjauhkan penyakit dan musibah dari masyarakat Kampung Laut Bontang Kuala.

Pesta Laut ini masih kental pada masyarakat sekitar Kampung Laut Bontang Kuala dan terus dijalankan hingga saat ini sebagai bentuk upaya untuk melestarikan warisan budaya Indonesia. Turis juga dapat mengikuti kegiatan upacara yang dilakukan saat pesta laut bersama masyarakat sekitar. Terdapat juga perlombaan yang diadakan seperti balap kapal, lomba mendayung, dan panjang pinang sehingga dapat menarik perhatian turis, terutama mancanegara.

Smart Eco Tourism

Potensi yang ada pada Kampung Laut Bontang Kuala dapat disempurnakan sesuai dengan penerapan Integrated Coastal Zone Management (ICZM ) sehingga dapat mewujudkan salah satu penerapan Blue Economy, yaitu Smart Marine Eco Tourism. Penerapan ini dapat diwujudkan dengan pengimplementasian teknologi penghasil listrik dari energi laut.

Pembangkit energi terbaharukan yang optimal untuk kawasan Kampung Laut Bontang Kuala adalah Oscillating Water Column ( OCW ) dan turbin angin karena gelombang laut dan kecepatan angin yang cukup kencang di daerahnya. Implementasi kedua pembangkit listrik tersebut dapat menunjang kebutuhan listrik masyarakat sekitar dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada dan hasil energi listriknya dapat langsung disalurkan ke rumah warga. OCW dapat diletakkan di tiang pancang rumah warga dan turbin angin dapat diletakkan di daerah sekitar pesisir yang memiliki kecepatan angin yang paling kuat. Hasil energi dari OCW dapat digunakan untuk kebutuhan listrik perumahan warga dan hasil listrik dari turbin angin dapat digunakan untuk menyalakan lampu jalan dan fasilitas umum.

BELAJAR REKLAMASI DARI TERMINAL TELUK LAMONG

Adira Fitria PUTRI, Dwi Prawira KUSUMA, Luthfan Taufiqul HAFIZH (Mahasiswa Teknik Kelautan FTK ITS)


Isu reklamasi selama beberapa tahun sampai ke publik cenderung berkonotasi yang negatif, mulai dari Teluk Benoa hingga Teluk Jakarta. Reklamasi seolah-olah terdengar sebagai suatu kata yang buruk dan tidak memiliki makna yang positif.

Reklamasi sendiri didefinisikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya lahan, baik dari sudut lingkungan hingga sosial ekonomi, melalui cara pengurugan, pengeringan lahan, atau drainase. Definisi ini tentu bertentangan dengan opini masyarakat tentang reklamasi itu sendiri. Jadi, mana yang benar? Apakah reklamasi itu buruk atau baik?

Indonesia selaku negara maritim dengan ribuan pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke dan memiliki garis pantai yang panjang, menjadikannya banyak penduduk yang tinggal di daerah pesisir, dan menjadikan laut sebagai identitas sebagian besar masyarakat Indonesia.

Seiring dengan bertambahnya waktu, jumlah penduduk ikut bertambah, akan tetapi ketersediaan lahan semakin berkurang, terutama di daerah pesisir yang tidak tahu harus mengembangkan wilayah ke mana lagi. Tentu saja salah satu pilihannya adalah membuat tanah baru di laut atau yang umum disebut reklamasi, tak ketinggalan juga kota terbesar ke-2 di Indonesia, Surabaya.

Surabaya, kota yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, memaksa kota ini untuk terus berkembang dan berkembang, baik untuk memenuhi kebutuhan perumahan hingga industri. Bagi masyarakat mungkin masih bisa membangun rumah di pinggiran kota atau di kota-kota satelit seperti Sidoarjo maupun Gresik, akan tetapi bagi beberapa fasilitas yang memang harus memanfaatkan daerah-daerah tertentu untuk berkembang, hal tersebut tidak bisa dilakukan, salah satu contohnya adalah pelabuhan.

Surabaya sendiri punya beberapa pelabuhan, baik pelabuhan penumpang hingga pelabuhan peti kemas, seperti Dermaga Ujung Kalimas, dan Tanjung Perak. Seiring berjalannya waktu, arus lalu lintas kapal di pelabuhan-pelabuhan tersebut, terutama kapal logistik yang perlu bongkar muat di Tanjung Perak, terlalu padat hingga melebihi kapasitas bongkar muat pelabuhan, sehingga pemerintah perlu melakukan terobosan bagaimana meningkatkan efisiensi dan mengurai kemacetan di pelabuhan ini.

Terminal Teluk Lamong

Dan terwujudlah pembangunan pelabuhan logistik baru di daerah yang berada tidak jauh dari Tanjung Perak, yakni Terminal Teluk Lamong.
Pelabuhan yang dibangun secara bertahap sejak tahun 2010 ini, berada di muara Sungai Lamong dan merupakan pelabuhan logistik berskala internasional yang dimiliki oleh PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau yang biasa disebut Pelindo. Terminal Teluk Lamong kini telah melayani ratusan kapal petikemas tiap tahunnya. Terminal ini memiliki fungsi yang vital dalam menjaga arus logistik terutama di daerah Surabaya dan sekitarnya.

Pulau hasil reklamasi untuk Terminal Teluk Lamong (credit.Teguh Pambudi,2018)

Area pembangunan infrastruktur pelabuhan ini tentus saja dibangun dengan metode reklamasi. Terdapat hal yang menarik tentang pembangunan reklamasi yang satu ini, berbeda nasib dengan Teluk Jakarta maupun Teluk Benoa, yaitu kita jarang atau tidak mendengar kabar/isu negatif reklamasi untuk terminal Teluk Lamong ini.

Pelabuhan yang telah dibangun sejak 2010 ini tentu saja telah melalui banyak pertimbangan dan perhitungan termasuk AMDAL sebelum dilakukannya pembangunan. Dan hal ini hal yang lumrah dan merupakan prosedur yang wajib dilakukan oleh setiap pengembang sebelum membuat sebuah proyek.

Aspek Lingkungan

Untuk kasus di Terminal Teluk Lamong, setiap kegiatan yang berkaitan dengan konstruksi mulai dari pra-konstruksi hingga operasi sudah diperhitungkan matang-matang. Selain itu dari aspek lingkungan, banyak hal yang juga sudah dipertimbangkan mulai dari komponen geofisik kimia hingga transportasi. Kemudian dibuatlah beberapa daftar dampak potensial dan bagaimana pengembang akan menyelesaikannya.
Tentu saja banyak dampak negatif yang muncul dari konstruksi proyek sebesar ini. Mulai dari penurunan kinerja jalan, penurunan kualitas udara, peningkatan kebisingan hanya dari kegiatan mobilisasi material dan peralatan konstruksi hingga berkurangnya habitat burung air akibat pengoperasian terminal petikemas. Semua hal ini diperhitungkan dan dibuat bagaimana cara penyelesaiannya secara terperinci.

Salah satu contoh dari penurunan kualitas udara karena mobilisasi material dan peralatan konstruksi, misalnya, pengembang melakukan upaya pengelolaan dengan memberlakukan standar kelayakan alat berat dan transportasi sehingga dapat mengurangi polusi dari emisi kendaraan hingga membuat barrier atau penyerap polutan di sekitar lokasi kegiatan dengan penanaman pohon-pohon berdaun lebat. Setiap detil terkecilpun tidak luput dari perhitungan pengembang Terminal Teluk Lamong.

Dampak Positif

Pembangunan pelabuhan ini juga tidak hanya berkutat tentang dampak-dampak negatif. Ada pula dampak positif dengan adanya regulasi rekrutmen tenaga kerja dengan menciptakan lapangan pekerjaan baru sehingga dapat meningkatkan pendapatan penduduk.

Melalui berbagai macam cara pengembang Terminal Teluk Lamong memaksimalkan dampak positif dari adanya pembangunan pelabuhan ini baik untuk konsumen, pemerintah daerah, hingga masyarakat sekitar. Hal ini yang membuat pembangunan Terminal Teluk Lamong tidak mendapatkan porsi kontroversi sebesar yang ada di Teluk Benoa maupun di Teluk Jakarta.

Tetap ada pro-kontra

Meski demikian, bukan berarti pembangunan reklamasi ini tanpa adanya penolakan dari masyarakat sekitar. Melalui survei yang ada, khususnya di Kecamatan Benowo, Surabaya terdapat 22% masyarakat yang tidak setuju dan 13% ragu dengan adanya pengembangan pelabuhan ini.

Namun demikian, di beberapa tempat seperti di Kecamatan Asem Rowo dan Krembangan persepsi masyarakat mayoritas mendukung pengembangan pelabuhan dengan persentase 86% hingga 100%. Kebanyakan dari mereka mempertanyakan tentang keamanan dan pendapatan nelayan yang terancam menurun dengan adanya reklamasi ini.

Mengetahui persepsi masyarakat yang seperti itu, pengembang tidak diam. Pengembang merencanakan berbagai macam rencana agar masyarakat tidak mengalami penurunan pendapatan mulai dari melakukan penyuluhan kepada nelayan tentang lokasi-lokasi penangkapan ikan yang aman, memberikan kompensasi dengan nelayan sesuai kesepakatan, membantu organisasi dan kelompok nelayan untuk pengembangan organisasi, usaha hingga pengembangan SDM serta pemodalan. Bahkan pengembang juga merancang program CSR yang sesuai bagi nelayan agar memungkinkan bagi mereka untuk alih profesi atau pengembangan usaha.

Pengembang Terminal Teluk Lamong, yakni PT Pelindo, bertanggung jawab secara penuh terhadap setiap kegiatan yang mereka lakukan mulai dari perencanaan, pembangunan, hingga operasional pelabuhan. Mereka memberikan jaminan, manfaat, dan solusi bagi semua pihak yang terlibat dan terdampak dalam pengembangan pelabuhan. Mereka tidak hanya merencanakan atau beretorika saja, namun melakukan tindakan secara langsung dengan komitmen tegas sepenuhnya. Itulah kenapa tidak banyak kontroversi yang terjadi pada pembangunan reklamasi untuk pengembangan Terminal Teluk Lamong. Sudah selayaknya setiap pengembang melakukan yang sedemikian rupa agar proyek yang memang sedari awal direncanakan untuk kebaikan bersama seperti ini dapat terjalankan dengan baik dan optimal.