Tag Archives: rokhmin dahuri

ROKHMIN DAHURI DORONG JAWA TENGAH KEMBANGKAN EKONOMI KELAUTAN

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, yang juga Ketua Umum Masyarakat Aquakultur Indonesia, Prof Rokhmin Dahuri mengajak pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan agar mendorong peningkatkan kontribusi sektor unggulan untuk pembangunan ekonomi kelautan (marine economy).

Adapun sektor unggulan tersebut adalah perikanan tangkap, perikanan budidaya, peningkatan hasil ikan dan produksi garam.

Hal tersebut disampaikan Rokhmin Dahuri, yang saat ini juga masih menjadi Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan. ketika menjadi narasumber Rapat Koordinasi Kabupaten/Kota oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah di Semarang, Senin (15/11/2021).

“Ekonomi Kelautan adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia,” katanya.

Dari sub sektor perikanan tangkap, Rokhmin menyebut laut Jawa Tengah memiliki Potensi Sumber Daya Ikan (SDI) laut mencapai 1.873.530 ton/tahun yang terdiri dari Laut Jawa 796.640 ton/tahun  dan Samudera Hindia: 1.076.890 ton/tahun.

“Pada 2020 tingkat pemanfaatan potensi tersebut sebesar 16% atau sekitar 301,484 ton dengan rincian produksi wilayah Laut Jawa 243.232 ton (90,05%) dan Produksi wilayah Samudera Hindia 26.881 ton (9,95%),” ujarnya.

Sedangkan untuk perairan umum darat (PUD), berdasarkan data DKP Jawa Tengah tahun 2017 Potensi SDI PUD Jateng sebesar 22.826,15 ton/tahun. “Pada 2020, tingkat pemanfaatan potensi tersebut telah 87 persen,” terangnya.

Sementara itu untuk perikanan budidaya, Rokhmin Dahuri yang juga Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) tersebut menyebut total potensi lahan Jateng sebesar 676.399,08 Ha, dimana tingkat pemanfaatan hingga 2017 baru 9,01% dengan dominan dari jenis budidaya Air Payau/Tambak.

“Produksi perikanan budidaya jateng sebagian besar produksi perikanan budidaya Jateng berasal dari Budidaya Air Tawar (53-59%) sebesar 511,489 ton pada tahun 2020,” ungkapnya.

Adapun produksi garam provinsi Jawa Tengah merupakan terbesar ke-2 di Indonesia (32%). Jateng merupakan provinsi dengan jumlah petambak garam terbanyak di Indonesia (37%).

Untuk medorong sektor unggulan tersebut menjadi penggerak ekonomi daerah dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, menurut Ketua DPP PDIP Bidang Kemaritiman itu dibutuhkan program dan kebijakan diantaranya; Pertama, optimalisasi dan industrialisasi perikanan tangkap.  

Kedua, Revitalisasi, ekstensifika, dan diversifikasi usaha perikanan budidaya. Ketiga, revitalisasi dan pengembangan industri pengolahan ikan. Keempat, Peningkatan produksi industri bioteknologi dan jasa kelautan. Kelima, Peningkatan kualitas, food safety, dan daya saing produk Kelautan dan Perikanan.

Pemerintah juga didorong untuk peningkatan pemasaran di dalam negeri dan ekspor, Pengelolaan SDI dan lingkungan, Pengawasan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan (SDKP), penelitian dan pengembangan serta peningkatan kapasitas SDM serta Infrastruktur dan sarana.

Rokhmin Dahuri yang saat ini menjabat Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan itu menegaskan bahwa pembangunan sektor kelautan perikanan dikatakan berhasil jika pertama, peningkatan produktivitas, produksi & daya saing hingga RI jadi Nomor Satu Dunia, sesuai Potensi Produksi Lestari.

Kedua, Nelayan, Pembudidaya & Stakeholders lain sejahtera. Ketiga, Kontribusi ekonomi meningkat:  PDB, ekspor, pajak, PNBP, PAD, dan lapangan kerja. Keempat, Status gizi dan Kesehatan rakyat membaik. Kelima KoofIsien Gini atau kesenjangan sosial kurang dari 0,3 dan keenam Ramah lingkungan serta  berkelanjutan.

(berita ini telah tayang di monitor.co.id)

RD: 5 QUICK WINS PEMBANGUNAN KELAUTAN UNTUK PENINGKATAN DAYA SAING DAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS

“Masalah utama bangsa saat ini adalah pertumbuhan ekonomi rendah, pengangguran, kemiskinan, gizi buruk, dan daya saing yang rendah”, tandas Prof Rokhmin Dahuri.

Pembangunan ekonomi kelautan, inovasi dan industrialisasi ramah lingkungan dan sosbud, harus menjadi prioritas kebijakan dan ini harus terus digaungkan dan menjadi dikursus yang membangun. Demikian disampaikan Koordinator Penasehat Menteri Kelatan dan Perikana ini pada acara Webinar Bincang Dimensi Ruang yang diadakan kerjasama PERLUNI PWK-ITI, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota-ITI, dan Ikatan Ahi Perencanaan (IAP) Propinsi Banten (15/07/2020).

Pertumbuhan ekonomi Triwulan-II 2020 adalah -1%, dan Triwulan-III 2020 diperkirakan -3,1%, dan jika proyeksi Triwulan-III ini terjadi, maka bersiaplah Indonesia mengalami resesi ekonomi (Kemenkeu, 29 Juni 2020).

RD juga mengingatkan data yang ada agar tidak terlena. Dimana per Maret 2019, dengan garis kemiskinan Rp 410.000/orang/bulan, jumlah rakyat miskin menurun menjadi 25,6 juta jiwa (9,6% total penduduk). Angka kemiskinan dibawah 10% ini baru pertama kali terjadi sejak Kemerdekaan -NKRI 1945(BPS, 2018).

Namun yang perlu dicatat, jumlah penduduk yang rentan miskin (pengeluaran > Rp 410.000/orang/bulan –US$ 45 (Rp 652.500)/orang/bulan) masih 69 juta jiwa (BPS, 2019). Artinya jumlah penduduk miskin + rentan miskin = 25,6 juta + 69 juta jiwa = 94,6 juta jiwa. Data ini mirip data Bank Dunia (dengan poverty line US$ 2/orang/hari atau US$ 60 (Rp.840.000)/orang/bulan), jumlah rakyat miskin Indonesia 100 juta orang (40% total penduduk).

Secara rinci Rokhmin Dahuri membeberkan permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia saat ini dan kedepan, yaitu:

  1. Pertumbuhan ekonomi kurang dari 7% per tahun
  2. Pengangguran dan kemiskinan, dimana nelayan salah satu kantong kemiskinan.
  3. Kesenjangan sosek terburuk keempat di dunia
  4. Disparitas pembangunan antar wilayah: Desa vs Kota; Jawa vs Luar Jawa
  5. Defisit Neraca Perdagangan dan Transaksi Berjalan
  6. Deindustrialisasi
  7. Kedaulatan pangan rendah, gizi buruk dan stunting growth
  8. Daya saing dan IPM rendah
  9. Kerusakan lingkungan dan SDA.
  10. Krisis ekonomi global, perseteruan AS vs China, dan Pandemi Covid-19. Dan jika tak ada breakthrough, ditambah pertumbuhan ekonomi < 7% per tahun makan akan terjadi Middle-Income Trap.

Kondisi ini tentunya harus disikapi dengan kerja keras, tidak biasa-biasa saja, sebagaimana pesan Presiden Jokowi.

Dan sumbasih ekonomi kelautan bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru, jika digerakkan dengan sistematis dan terarah.

Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia sebesar US$ 1,338 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2019 (Rp 2.400triliun = US$ 190 miliar) atau 1,3 PDB Nasional saat ini. Lapangan kerja yang bisa menyerap 45 juta orang atau 40% total angkatan kerja Indonesia.

Pada 2014 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia masih sekitar 22%. Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), bahkan kontribusinya sudah > 30%.

6 strategi pembangun ekonomi kelautan dan perikanan yang bisa didekati untuk menjadikan Indonesia proros maritim dunia. Pertama, penataan ruang wilayah lahan atas pesisir laut secara terpadu; kedua, pembangunan ekonomi dan kawasan industri; ketiga, pembangun an infrasturktur dan konektivitas, keempat, pengelolaan lingkungan laut dan konservasi; kelima, good governance dan kebijakan politik ekonomi; dan keenam, pembangunan SDM.

Dalam jangka pendek, Prof Rokhmin Dahuri mengusulkan langkah terobosan dan program quick wins pemulihan ekonomi pasca covid-19.

Pertama, pembangunan perikanan perikanan budidaya yang mensejahterakan dan berkelanjutan, melalui:

  1. Pengembangan komoditas unggulan di: (1) perairan tawar, (2) perairan payau (tambak), (3) perairan laut dangkal, (4) perairan laut lepas atau laut dalam (offshore aquaculture), dan (5) akuarium serta media budidaya lainnya.
  2. Program intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi untuk meneningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability.
  3. Aplikasi Best Aquaculture Practices(pemilihan lokasi, bibit dan benih unggul, nutrisi, pengendalian hama & penyakit, manajemen kualitas tanah & air, pond engineering, dan biosecurity),dan integrated supply chain management, dengan target income > US$ 300/bulan/orang.
  4. Intensitas usaha budidaya tidak melebihi Daya Dukung Lingkungan mikro (kolam, container) maupun Lingkungan Makro (Kawasan).
  5. Pengembangan induk (broodstock) dan benih unggul yang bebas penyakit (SPF = Specific Pathogen Free), tahan terhadap serangan penyakit (SPR = Specific Pathogen Resistant), cepat tumbuh, dan adaptif terhadap Global Climate Change.
  6. Pengembangan industri pakan yang berkualitas dengan harga relatif murah dan FCRrendah: trash fish, by catch, magot, micro alage, dll.
  7. Manajemen lingkungan kawasan: pengendalian pencemaran dan konservasi biodiversity.
  8. Penyediaan sarana produksi dan infrastruktur berkualitas yang mencukupi.
  9. Penguatan R & D untuk penguasaan dan aplikasi inovasi teknologi, business models, dan marketing.

Kedua, pembangunan perikanan tangkap, melalui:

  1. Pengurangan fishing effort/upaya tangkap (kapal ikan, fishing gears, dan jumlah nelayan) untuk setiap kelompok stok ikan (pelagis besar, pelagis kecil, demersal, dan lainnya) berbasis WPP sampai unitwilayah yang lebih kecil (zona penangkapan-1, 2, dan ZEEI). Sehingga, total catch untuk setiap kelompok stok ikan sama dengan 80% MSY atau MSY, dan pendapatan nelayan ABK minimal US$ 300 (Rp 4,2 juta)/orang/bulan.
  2. eningkatan fishing effortuntuk setiap kelompok stok ikan berbasis WPP sampai unit wilayah yang lebih kecil. Sehingga, total catch untuk setiap kelompok stokikan sama dengan 80% MSYatau MSY, dan pendapatan nelayan ABK minimal US$ 300 (Rp 4,2 juta)/orang/bulan.
  3. Pengembangan armada Ocean Going Fisheries RIyang kompetitif untuk beroperasi di International Waters (beyond ZEEI).

Ketiga, pembangunan industri pengolahan hasil perikanan untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk, melalui:

  1. Penguatan dan pengembangan teknologi penanganan (handling) dan transportasi hasil perikanan, baik di sektor perikanan tangkap maupun di sektor perikanan budidaya.
  2. Peningkatan kualitas dan daya saing industri pengolahan hasil perikanan tradisional: ikan asap, pindang, kering (asin dan tawar), fermentasi (peda), terasi, petis, dll.
  3. Peningkatan kualitas dan daya saing industri pengolahan hasil perikanan modern: live fish, fresh fish, pembekuan, pengalengan, breaded shrimps and fish, produk berbasis surimi, dll.
  4. Peningkatan utilisasi perusahaan pengolahan ikan menjadi 80%dari kondisi saat ini 10-40% dan larangan ekspor ikan > 300 gram untuk reindutsrialisasi (minimal fillet)
  5. Pengembangan produk-produk olahan perikanan baru (product development)
  6. Penyempurnaan packaging dan distribusi produk.
  7. Penjaminan kontinuitas suplai bahan baku, oleh karena itu pemerintah harus memastikan, bahwa setiap unit industri pengolahan hasil perikanan memiliki mitra produsen (nelayan dan/atau pembudidaya).
  8. Standardisasi dan sertifikasi.
  9. Penguatan dan pengembangan pasar domestik dan ekspor

Keempat, pembangunani industri bioteknologi perairan, dan kelima, pembagunan pariwisata bahari.

INVENSI DAN INOVASI RISET KUNCI MEWUJUDKAN PENGELOLAAN KELAUTAN DAN PERIKANAN YANG BERDAYA SAING

Invensi dan inovasi menjadi kata kunci dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berdaya saing, maju, sejahtera dan berdaulat.

“Invensi menghasilkan ide atau konsep baru, lalu inovasi mengubah konsep baru itu menjadi komersial atau penggunaan lebih luas” demikian disampaikan Prof Rokhmin Dahuri dalam acara FGD “Integrasi Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan dalam rangka Percepatan Riset dan Inovasi Kelautan dan Perikanan Indonesia” yang diadakan BRSDM –Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta, Senin (13/7).

Sektor kelautan dan perikanan sebagai suporting utama untuk ketahanan pangan, mutlak membutuhkan riset-riset yang inovatif. Inovasi ini harus mencerminkan 3 hal pokok: pertama, layak secara teknis (technological readiness); kedua, sesuai dengan kebutuhan konsumen (market raediness); dan ketiga, layak secara ekonomis (economic readiness).

Dijelaskan lebih lanjut oleh Guru Besar IPB yang saat ini diminta sebagai Koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan, bahwa inovasi riset yang inovatif untuk pembangunan kelautan dan perikanan sangat dibutuhkan di subsektor perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri penanganan dan pengolahan, industri bioteknologi perairan, teknologi industri 4.0, serta jasa dan SDA kelautan non konvensional.

Pertama, sub sektor perikanan tangkap diantaranya adalah:

  1. Teknik (metode) pendugaan stok dalam ekosistem laut multispecies dan multigears untuk unit luasan wilayah perairan: WPP, wilayah perairan Provinsi, Kabupaten/Kota, atau unit ekosistem alamiah. Ini sangat penting untuk menetapkan laju (intensitas) penangkapan ikan yang lestari (sustainable) di era otoda.
  2. Pengembangan alat penangkapan ikan (fishing gears) yang produktif, efisien dan sekaligus ramah lingkungan.
  3. Pengembangan kapal ikan yang cepat, efisien, dan ramah lingkungan (menggunakan energi surya, hidrogen, dll).
  4. Pengembangan alat bantu penangkapan ikan (seperti fish finders, peta lokasi ikan, FAD, dan ecosounder) supaya usaha penangkapan ikan mampu diubah dari yang sifatnya ‘hunting’ menjadi ‘harvesting’.
  5. Pengembangan fishing technology (fishing gears and fishing vessels) yang adaptif terhadap Perubahan Iklim Global.
  6. Pengembangan teknologi Good Handling Practices ikan hasil tangkap selama di kapal hingga ke lokasi pendaratan ikan (pelabuhan perikanan).
  7. Pengembangan model manajemen perikanan tangkap baru yang lebih sesuai dengan kondisi biofisik dan sosekbud Indonesia, seperti: CBM, Co-Management, Marine Protected Area, atau kombinasi model manajemen yang tersedia.
  8. Pengembangan teknik rehabilitasi ekosistem perairan tawar, pesisir, dan laut yang telah rusak.
  9. Pengembangan teknik restocking dan stock enhancement yang lebih baik.
  10. Pengembangan teknologi perikanan laut dalam (deep-sea fisheries) dan perikanan laut lepas (ocean-going fisheries).

Kedua, subsektor perikanan budidaya, diantaranya adalah:

  1. Pengembangan spesies-spesies baru yang dapat dibudidayakan (domestikasi) untuk di perairan laut, payau, tawar, dan akuarium. Ini sangat penting, sebab sebagai negara dengan aquatic biodiversity tertinggi di dunia, Indonesia baru mampu membudidayakan sekitar 25 spesies. Sedangkan, China telah membudidayakan lebih dari 100 spesies (Sumantadinata, 2010).
  2. Pengembangan teknologi offshore aquaculture dan deep sea aquaculture.
  3. Pengembangan induk dan benih unggul: SPF, SPR, cepat tumbuh, rasa lezat, adaptif terhadap Perubahan Iklim Global.
  4. Pengembangan pakan berkualitas yang murah, seperti dengan menggunakan microalgae, magot, trashed fishdan by-catch (sekitar 25% dari total catch), dll.
  5. Pengembangan teknologi pemberian pakan yang lebih efisien dan murah, seperti automatic feeder, dll.
  6. Pengembangan teknologi pengendalian hama dan penyakit, seperti memproduksi vaksin, obat-obatan, biological control, Integrated Pest Management, dll.
  7. Pengembangan teknologi pembesaran (rearing) yang lebih produktif, efisien, dan sustainable: tambak udang biocerte, multitrophic-based aquaculture, probiotic, tambak udang supra intensif, dll.
  8. Pengembangan teknologi pond engineering: design dan layout kolam, material dan konstruksi KJA, design dan konstruksi akuarium.
  9. Pengembangan teknologi dan prosedur biosecurity.

Ketiga, industri penanganan dan pengolahan, mencakup:

  1. Penyempurnaan hasil-hasil olahan produk perikanan (end product) yang telah ada.
  2. Pengembangan hasil olahan baru (product development).
  3. Pengembangan produk non-pangan, seperti: farmasi, kosmetik, pupuk, kertas, biofuel, dll.
  4. Pengembangan teknologi kemasan (packaging) dan penyajian.
  5. Pengembangan teknologi transportasi, cold chain system, dan sistem logistik perikanan nasional.

Keempat, industri bioteknolgi perairan, diantaranya:

  1. Bio-prospecting dan Ekstraksi senyawa bioaktif (bioactivesubstances) dari biota perairanuntuk bahan baku industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, pupuk, kertas, campuran logam untuk pesawat terbang, film, dan beragam industri lainnya
  2. Manufakturing (produksi) berbagai macam produk industri diatas dari senyawa bioaktif yang terkandung dalam biota perairan.
  3. Produksi biofuel darimicro algae, macro algae, dan biota perairan lainnya.
  4. Rekayasa genetik (genetic engineering) untuk menghasilkan bibit dan benih unggul dari ikan, hewan, tanaman, dan organisme perairan lainnya. Dan, untuk merekayasa (engineered) tanaman-tanaman terestrial (seperti padi, jagung, kedelai, dan tebu) dapat dibudidayakan (cultivated) di habitat perairan, khususnya rawa pasang surut dan laut.
  5. Rekayasa genetik mikroba(bakteri), sehingga mampu melumat (menetralkan) ekosistem yang dilanda pencemaran (environmental bioremediation).

Kelima, revolusi industri 4.0, diantaranya:

  1. sistem informasi daerah penangkapan ikan real time dan mudah diakses oleh nelayan
  2. sistem informasi tempat pelelangan ikan produksi dan harga real time
  3. sistem digital platform untuk pelaku usaha perikanan dari tempat pelelangan, rantai logistik hingga konsumen.
  4. pemilihan lokasi untuk akuakultur terbaik dengan dengan aplikasi drone, big data, dan IoT.
  5. memproduksi induk dan benih/larva berkualitas tinggi: SPF (Specific Patogen Free), SPR (Specific Patogen Resistance), cepat tumbuh, dan rasanya enak melalui bioteknologi (DNA sequencing and recombinant), nanoteknologi, big data, AI, dan IoT .
  6. produksi pakan berkualitas dan teknik/metode pemberian pakan yang efektif pada organisme budidaya (ikan, udang, moluska, dll.) Seperti AQ1 automatic feeder dengan umpan balik akustik.
  7. monitoring, kontrol, dan pengawasan kualitas air dan tanah (manajemen) melalui drone, robot, big data, dan IoT.
  8. pengendalian hama dan penyakit melalui bioteknologi (bioremediasi), nanoteknologi, drone, dan IoT.
  9. rekayasa akuakultur (desain, tata letak, dan konstruksi kolam, jaring keramba, dan media/wadah akuakultur lainnya) melalui new materials, nanotechnology, 3-D printing, and cloud computing (smart and precision).
  10. biosecurity melalui drone, robot, big data, cloud computing, dan IoT.
  11. sistem pengolahan dan manajemen rantai pasok perikanan
  12. sistem monitoring operasi cold storage dan syok ikan secara real time

Keenam, riset inovasi bidang jasa dan SDA kelautan non konvensional, diantaranya:

  1. Garam: (1) peningkatan produktivitas dan produksi, (2) peningkatan kualitas, (3) sistem logistik, dan (4) manajemen rantai pasok terpadu.
  2. Pulau-pulau kecil: (1) assessment potensi dan kendala pembangunan, (2) valuasi ekonomi, dan (3) model investasi dan bisnis.
  3. Deep sea capture fisheries (perikanan tangkap laut dalam).
  4. Offshore and deep-sea aquaculture.
  5. Energi kelautan: passut, gelombang, arus, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion).
  6. SDA dan JASLING non-konvensional kelautan.

Dengan penguatan riset inovasi pada ke-6 bidang sektor diatas, Insya Allah misi mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia bukan hanya angan-angan.

ROKHMIN DAHURI: INDONESIA HAS THE LARGEST AQUACULTURE PRODUCTION POTENTIAL IN THE WORLD

Jakarta, IFSI Webinar, July 2nd, 2020

Indonesia is the largest archipelagic country in the world consisting of 17,508 islands with 99,093 km coastline, the second longest after Canada.

Blessed with the highest marine biodiversity on Earth and a unique geographical character, Indonesia encompasses 1.9 million km2 of land mass (24%); 3.3 million km2 of archipelagic seawater and territorial seas (42%); and 2.7 million km2 of EEZ (34%).  In addition, 28% of its total land mass is in the form of freshwater ecosystems including rivers, lakes, reservoirs (dams), and freshwater swamps (National Agency for Geospatial Information, 2017).  

Rohkmin Dahuri stated that information on Webinar Seafood Trade Corridor “ Standards, Best Practices, Supply Chain Capability Certification for the Segmentation of the Markets”, July 2nd, 2020.

With total population of 267 million people, Indonesia is the fourth most populous country in the world, and having ‘a demographic dividend (bonus)’ from 2020 – 2032.

Indonesia is a member of G-20.  In 2019 (before the covid-19 pandemic), the country’s GDP was US$ 1.2 trillion (the 16th largest in the world), and GDP per capita was US$ 4,000 (a middle-income country) (World Bank, 2020).

In 2019, the number of poor people (who lives below the Indonesian poverty line (US$ 1 per day) was 25,6 million people (9,6% total population) and unemployment rate of 6.5% (BPS, 2019)

In order to achieve a high-income (rich) country status (GDP per capita > US$ 11,500), Indonesia must produce an inclusive economic growth at least 7% per year in the next ten years (Mc Kinsey Global Institute, 2019).

One of the largest potential sources of the country’s economic growth is marine and fisheries sector, especially aquaculture.

Indonesia has the largest aquaculture production potential in the world (100 million tons/year). Until 2019 its total aquaculture production was only about 17 million tons (17%) of which 11 million tons (65%) is seaweed and 6 million tons (35%) consists of fish, shrimps, crabs, and mollusks.

Since 2009, Indonesia has been the second largest producers of aquaculture commodities in the world, after China (FAO, 2018).

Rokhmin Dahuri suggested the development policies and programs for indonesian sustainable aquaculture development:

  1. The rate of aquaculture development (area, and the level of aquaculture technology reflected by stocking density) in any region (a spatial unit) must not exceed its carrying capacity
  2. Each aquaculture business unit must implement: (1)  economy of scale; (2) an integrated supply chain management system; (3) Best Aquaculture Practices (BAP*), and state of the art technology such as Industry 4.0 in each chain of the supply chain system; and (4) sustainable development principles
  3. Revitalization of all existing aquaculture business units (marine, coastal, and inland) to increase their productivity, efficiency (profitability), competitiveness, inclusiveness, and sustainability by applying point-2 ingredients.
  4. Expansion of aquaculture production in new marine, coastal, and inland areas based on their suitability and carrying capacity.
  5. Diversification of new species (commodities) for aquaculture production
  6. All technology used in aquaculture must be environmentally friendly (resource efficient, zero waste, low carbon, and less or no damage to the environment).
  7. To ensure healthiness, safety, and environmental friendliness of all aquaculture commodities and products; the Best Practices, QA/QC, and certification programs have been implemented in each chain of the aquaculture supply chain system (IndoGAP): (1) feed manufacture (industry); (2) hatchery; (3) grow out (rearing) ponds, cage nets, and other aquaculture media (containers); (4) processing and packaging industry; (5) storage; (6) transportation and distribution; and (7) market and consumers.
  8. Strengthening and expanding both domestic and global markets for aquaculture commodities and products
  9. Environmental management to sustain aquaculture production: spatial planning, pollution control, and conservation of biodiversity
  10. Mitigation and adaptation to Global Climate Change, tsunami, and other natural hazards
  11. Finance, infrastructures, technology, information, and other productive economic assets should be not only accessible to big corporations, but also for micro, small, and medium enterprises
  12. Develop a win-win cooperation among aquaculture stakeholders (e.g. hatchery, feed, producer, processor, and trader), enhance a share and care economy, and strengthen Global Aquaculture Incorporated
  13. Strengthen and develop R & D to generate innovations on a sustainable basis
  14. Government policies and regulations must be conducive for a productive, efficient, competitive, inclusive, and sustainable aquaculture.

RD: Keseimbangan sustainability dan profitability usaha lobster

Jakarta, 23 Juni 2020

Pada Webinar Nasional “TEKNOLOGI BUDIDAYA LOSBTER: Status dan Upaya Penyebarannya” yang diselenggarakan oleh Program Studi Penyuluhan – Politeknik Ahli Usaha Perikanan, Rokhmin Dahuri kembali menegaskan kebijakan pengelolaan lobster yang saat tengah dicanangkan oleh Menteri Edhy Prabowo.

Sabagai koordinator penasehat Menteri KP, Rokhmin Dahuri kembali menyoroti evaluasi kebijakan sebelumnya terkait larangan penangkapan dan/atau pengeluaran lobster, kepiting dan rajungan sesuai PermenKP 56/2016.

Yang pertama hancurnya usaha budidaya dan perdagangan kepiting soka (soft shell crab) ukuran rata-rata 50 – 150 gr/ekor dan kepiting bertelur hasil budidaya.

Kedua, hancurnya usaha budidaya dengan survival rate 30% dan perdagangan benih lobster. Ketiga, maraknya ekspor ilegal BL  (benih lobster) yang merugikan negara triliunan rupiah/tahun.

Akibatnya secara teknologi budidaya, larangan budidaya benih lobster berarti merugikan sustainability dan profitability usaha lobster yang telah dirintis. Sebab, survival rate benih lobster menjadi lobster konsumsi hanya 0,004% dibandingkan 30% budidaya.

Oleh karena itu, Permen KP 12/2020 didorong untuk menjawab sustainability dan profitability usaha lobster.

Hal ini tercermin dari kewajiban pembudidaya untuk melepasliarkan 2% dari hasil panen ke alam. Selain itu kuota penangkapan benih lobster juga mempertimbangan stock tiap WPP dan juga oleh nelayan kecil, dan menggunakan alat penangkapan ikan yang bersifat statis yang ramah lingkungan.

Selain itu, untuk eksportir benih lobster, juga dibatasi kuotanya serta dengan syarat sudah melakukan usaha kegiatan budidaya dalam negeri ditunjukkan dengan: 1) sudah panen secara berkelanjutan; dan 2) telah melepasliarkan lobster sebanyak 2% dari hasil pembudidayaan dan dengan ukuran sesuai hasil panen.

Harapannya dengan kebijakan baru ini adalah teknologi budidaya lobster, kepiting dan rajungan terus berkembang, nelayan dan pembudiaya lobster, kepiting dan rajungan kembali tidak mengganggur dan tumbuh multipliyer effects ekonomi.

Kebijakan ini menjadi wujud dari pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang produktif, berdaya saing, mensejahterakan, dan berkelanjutan.