Tag Archives: Proses pantai

REKLAMASI PESISIR KOTA CIREBON; TANTANGAN IMPLEMENTASI ICZM

Akmal Lutfitansyah, Matthew Abel Emanuel, Farel Noval Jamaluddin, Bryan Kevina Candra (Fakultas Teknologi Kelautan FTK ITS)


Kawasan pesisir merupakan kawasan yang sangat sentral dan penting dalam suatu wilayah. Di sisi lain, kawasan ini juga berpotensi mengalami berbagai gangguan, misalnya komodifikasi ruang. Komodifikasi area pesisir oleh pihak-pihak tertentu dengan tujuan mengapitalisasi modal membuat area ini rentan berubah secara spasial.

Wujud komodifikasi itu, misalnya, membangun kawasan hunian baru (perumahan), infrastruktur transportasi, kawasan industri, mendirikan pelabuhan, mencetak lahan pertanian, melakukan budidaya tambak, dan industri pariwisata.

Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihan antara ekosistem laut dan darat yang dipengaruhi oleh perubahan di laut dan darat. Wilayah pesisir yang demikian kompleks kepentingan dan kebutuhan penghidupan, memerlukan pengelolaan yang berkelanjutan untuk meningkatkan nilai ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pengelolaan wilayah pesisir meliputi pemanfaatan, perencanaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan lautan.
Pembangunan kawasan pesisir harus mengacu pada prinsip keberkelanjutan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan.

Pembangunan kawasan pesisir yang berkelanjutan, sejatinya dapat dilakukan dengan cara reklamasi pantai (memperluas wilayah pesisir), minapolitan, pembangunan waterfront city, dan lain lain-lain, yang dikarenakan keterbatasan wilayah pesisir sehingga membuat perluasan area kearah laut menjadi tidak terhindarkan.

Untuk hal itu, pengelolaan wilayah pesisir agar terus berkelanjutan membutuhkan penataan yang terintegrasi dan terpadu dengan memenuhi berbagai fasilitas penunjang prasarana dan sarana di kawasan pesisir tersebut, inilah yang disebut konsep ICZM (Integrated Coastal Zone Management).

Waterfront city Kota Cirebon

Pembangunan waterfront city di berbagai lokasi ditujukan dapat mengatasi permasalahan keterbatasan wilayah yang kecil sebagai perluasan wilayah daratan, tak terkecuali Kota Cirebon yang sedang berkembang sekaligus memperbaiki kerusakan pantai akibat abrasi.

Reklamasi pesisir Kota Cirebon yang telah dilakukan secara bertahap, salah satunya untuk perluasan kawasan pelabuhan Cirebon, yang sangat dibutuhkan sebagai penunjang prasarana dan sarana pelabuhan sebagai pintu keluar masuk logistik Kota Cirebon.

Pembangunan waterfront city dengan cara reklamasi adalah untuk penempatan sarana penunjang pelabuhan, dan juga sekaligus dapat berfungsi memperbaiki kondisi kawasan pesisir dan menjaga agar tetap baik.

Selain itu disisi lain juga dapat desain sebuah kawasan budidaya yang terintegrasi dengan sarana pengolahan hasil budidaya tambak dan tangkapan laut, sehingga akan memperpendek rantai distribusi, hemat waktu, dan dengan tujuan dapat meningkatkan sektor perikanan dan kelautan yang memiliki potensi sangat besar dalam hal budidaya tambak serta pengolahan hasil laut, yang pada gilirannya juga dapat meningkatkan penghasilan petambak dan nelayan.

Kedua hal diatas penting dalam pembangunan waterfront city, mengingat Kota Cirebon memiliki posisi dengan letak geografis sangat strategis yang merupakan salah satu jalur utama pesisir utara Jawa dalam transportasi laut dari Jakarta menuju Jawa Barat dan Jawa Tengah di pesisir utara kota-kota wilayah ini.


Selain itu kondisi pesisir kota Cirebon yang terus memburuk akibat adanya abrasi dan sendimentasi baik dari sungai maupun akibat penumpukan sampah, yang berdampak pada sebagian besar pesisir pantai Kota Cirebon tidak layak lagi untuk dijadikan tempat pariwisata bahari.


Oleh karena itu, gagasan Pemerintah Kota dalam perencanaan pembangunan waterfront city perlu memperhatikan kondisi di sekitar pesisir pantai terutama gelombang laut, serta pola sedimentasi yang terjadi dan berbagai hal lainnya, guna melindungi pantai, salah satu caranya dengan memberikan pemecah gelombang lepas pantai.

Dengan permasalahan kawasan pesisir di kota Cirebon diatas, serta dengan kebutuhan ruang untuk pengembangan kota dan sarana logistik, serta untuk menghindari tumpang tindih alokasi ruang dan tidak memperburuk rusaknya kondisi fisik kawasan pesisir yang dapat mengancam keberlanjutan kehidupan penduduk pesisir, maka diperlukan keterpaduan dan koordinasi dalam penataan yang saling terintegrasi dan saling menunjang dalam kawasan waterfront city dari hasil reklamasi pesisir tersebut adalah dengan pendekatan ICZM.

Dampak positif yang diharapkan

Diharapkan dengan adanya reklamasi yang diatasnya dibangun waterfront city akan menjadi solusi pemecahan masalah kawasan pesisir Kota Cirebon, serta mendukung hubungan pola ruang dan elemen penting sosial ekonomi budaya masyarakat Kota Cirebon.

Selain diharapkan dapat mengatasi abrasi pantai dan pengelolaan sampah laut, kawasan watefront city juga dapat dialokasikan untuk pemukiman nelayan, sehingga kawasan nelayan yang biasanya terkesan kumuh dapat tertata dan terintegrasi dengan rencana pasar higienis dan industri pengolahan hasil laut nantinya.

Selain itu, Kota Cirebon sebagai salah satu tujuan wisata religi peninggalan Kesultanan Cirebon, dan tradisi batik khas Cirebon, batik trusmi juga menjadi salah satu daya tarik terkuat bagi pengembangan wisata bahari dan religi. Sehingga pembangunan waterfront city diharapkan dapat mengakomodir alokasi ruang untuk hal ini.

Dan yang terakhir untuk menjadi tempat pengolahan limbah mandiri dan terintegrasi, sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif sampah dan limbah domestik dan industri dikawasan waterfront city Kota Cirebon ini. Pada saat ini proyek pembangunan waterfront city Cirebon masih dalam tahap pembangunan dan masih berlanjut hingga sekarang, yang sudah dimulai sejak tahun 2018, dan semua unsur masyarakat Kota Cirebon terus berharap dampak positif dari pembagunan ini tidak hanya ada saat proses pembangunan dengan penyerapan tenaga kerja, namun juga setelah selesainya proyek dengan alokasi ruang yang terintegrasi diatasi.

ICZM DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI BERKELANJUTAN DI NUSA PENIDA

Haarits Rayhan, Muhammad Anugerah Pragnyono, Dion Presetyo Sondakh, Selly Nurul Hikmayanti, Nurul Karunia (Teknik Kelautan FTK ITS)

Indonesia merupakan negara yang memiliki 16.771 pulau, dengan letak yang berbeda-beda setiap pulau ini maka akan berbeda pula kondisi alam yang ada. Selain itu Indonesia juga merupakan negara yang tergolong rawan terhadap kejadian bencana alam, hal tersebut dikarenakan letak geografis Indonesia yang berlokasi di antara dua samudera besar dan terletak di wilayah lempeng tektonik. Akibatnya Indonesia juga masuk dalam wilayah cincin api (ring of fire), yang berarti Indonesia rawan terkena gempa bumi dan dapat menimbulkan tsunami.

Dengan banyaknya pulau yang dimiliki Indonesia, maka pastinya banyak wilayah pulau dan peisisir yang dapat dimanfaatkan, namun diperlukan pengelolaan yang tepat untuk pemanfaatan wilayah pesisir ini agar tidak menjadi bencana bagi masyarakat setempat.

Salah satu wilayah yang dapat dikelola oleh pemerintah serta memiliki daya tarik yang cukup memikat pengunjung adalah Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, yang merupakan kepulauan yang berada di Selatan Bali yang memiliki banyak kekayaan alam. Kecamatan Nusa Penida memiliki tiga pulau utama yaitu Nusa Penida, Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan yang semuanya dikelilingi oleh terumbu karang tepi (fringing reef) dengan luas 1600 hektar.

Kecamatan Nusa Penida terdiri dari tiga kepulauan yaitu pulau Nusa Penida, Pulau Lembongan dan Pulau Ceningan, terdiri dari 16 Desa Dinas, Dengan Jumlah Penduduk 46,749 Jiwa (8.543 KK). Pulau Nusa Penida bisa ditempuh dari empat tempat yaitu lewat Benoa dengan menumpang Quiksilver/Balihai ditempuh +1 jam perjalanan.

Secara umum kondisi Topografi Nusa Penida tergolong landai sampai berbukit. Desa – desa pesisir di sepanjang pantai bagian utara berupa lahan datar dengan kemiringan 0 – 3 % dari ketinggian lahan 0 – 268 m dpl. Seeta semakin ke selatan kemiringan lerengnya semakin bergelombang.

Pesona Alam Nusa Penida

Di Nusa Penida terdapat 230,07 hektar hutan mangrove yang mayoritas berada di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Berdasarkan hasil survey dan identifikasi mangrove kerjasama antara TNC Indonesia Marine Program dan Balai Pengelolaan Hutan Mangrove wilayah I pada bulan Februari 2010 di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, terdapat 13 jenis mangrove dan 7 jenis tumbuhan asosiasi. Selain itu juga dijumpai 5 jenis burung air dan 25 jenis burung darat yang dijumpai di sekitar hutan mangrove.

Hutan mangrove di Nusa Lembongan

Selain itu terdapat pula Padang Lamun, Padang Lamun di Nusa Penida seluas 108 hektar. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh TNC dan Universitas Udayana dijumpai sekitar 8 jenis lamun di Nusa Penida. Mayoritas Padang Lamun tumbuh di perairan dangkal dan berasosiasi dengan budidaya rumput laut. Rumput laut merupakan salah satu andalan produksi perikanan bagi masyarakat Nusa Penida, khususnya untuk jenis euchema spinossum.

Kawasan budidaya rumput laut di area lamun pesisir Nusa Lembongan

Ekosistem lainnya adalah terumbu karang. Hasil pemetaan terumbu karang yang dilakukan oleh TNC dengan menggunakan data satelit dari sumber Damaris (Citra Satelit) dan ground truth check di 13 titik, menunjukan luas total terumbu karang Nusa Penida adalah sekitar 1.419 hektar.

Di Nusa Penida juga dijumpai ikan Mola mola (Sunfish) yang menjadi icon bawah laut Nusa Penida, bahkan pulau Bali. Ikan Mola mola ini memiliki ukuran rata-rata 2 meter dan muncul di perairan Nusa Penida sekitar bulan Juli – September untuk membersihkan dirinya dari berbagai parasit dengan bantuan ikan-ikan karang, sekaligus berjemur untuk mendapatkan sinar matahari guna menyesuaikan suhu tubuh dikarenakan berada di perairan dalam cukup lama. Terdapat beberapa lokasi “cleaning station” ikan Mola mola di perairan Nusa Penida.

Selain Ikan Mola mola, juga ditemukan 576 jenis ikan di perairan Nusa Penida dimana diantaranya spesies baru yang belum pernah dijumpai dimanapun di dunia. Antara lain, Pari, Penyu, Dugong (Duyung), Lumba-Lumba dan Paus. (Kajian Ekologi Laut secara cepat – Rapid Ecology Assesment (REA) pada tahun 2008 oleh Gerry Allen dan Mark Erdmann).

Wisata Bahari Nusa Penida

Kekayaan hayati laut Nusa Penida diatas membawa banyak manfaat bagi masyarakat terutama dari sektor pariwisata bahari, perikanan dan perlindungan pantai. Terumbu karang yang cantik, ikan pari manta dan Mola mola menjadi atraksi favorit bagi pariwisata bahari di Nusa Penida. Terumbu karang, hutan bakau dan padang lamun juga merupakan rumah, tempat berkembang-biak, mencari makan dan berlindung bagi ikan-ikan dan biota laut lainnya. Disisi lain, terumbu karang, hutan bakau dan padang lamun adalah pelindung pantai alami dari gempuran ombak sehingga pantai tidak terabrasi.

ICZM dalam pengembangan wisata bahari

Pengelolaan wilayah pulau Nusa Penida sebagai kawasan ekowisata bahari merupakan suatu komponen yang harus dilakukan guna menjaga agar kawasan tersebut dapat terjaga ekosistemnya . Sehingga perlu dilakukan perencanaan yang matang. Untuk wilayah pesisir metode yang dapat digunakan yaitu ICZM (integrated coastal zone management) yang merupakan suatu pendekatan yang komprehensif yang dikenal dalam pengelolaan wilayah pesisir, berupa kebijakan yang terdiri dari kerangka kelembagaan dan kewenangan hukum yang diperlukan dalam pembangunan dan perencanaan pengelolaan untuk kawasan pesisir yang terpadu dengan tujuan lingkungan hidup dan melibatkan seluruh sektor yang terkait.

Tujuan dari ICZM adalah untuk memaksimalkan potensi keuntungan yang diperoleh dari kawasan pesisir dan meminimalkan dampak negatif dalam pengelolaan kawasan pesisir, baik pada sumber daya alam maupun terhadap lingkungan hidup.

Salah satu upaya yang cukup efektif untuk mengatasi ancaman terhadap sumberdaya hayati laut yaitu dengan pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Dalam pengelolaan kawasa konservasi perairan ini sangat diperlukan dukungan masyarakat, termasuk integrasi hukum adat yang dipertegas oleh para tokoh masyarakat agar dapat menjadi sebuah mental block dengan harapan tidak melakukan kerusakan pada lingkungan di pesisir dan laut daerah Nusa Penida.

Kawasan Konservasi Nusa Penida

Selain itu dalam pengelolaan wilayah Nusa Penida juga mempertimbangkan risiko bencana yang kemungkinan terjadi, karwna wilayah ini dilalui Ring Of Fire.

Upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif/kerusakan yang mungkin terjadi dari bahaya yang mungkin terjadi, misalnya tsunami, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan menanam mangrove secara massive disepanjang pantai Nusa Penida. Pengaturan moratorium dan konservasi hutan mangrove sangat berguna sebagai mitigasi bencana, karena mangrove akan mampu mengurangi dampak terjangan tsunami ke daratan dan pemukiman penduduk, dan fasilitas publik dalam menunjang wisata bahari yang telah dibangun, seperti dermaga dan resort yang telah diinvestasikan di wilayah Nusa Penida.

REKLAMASI TELUK BENOA: KENAPA DITOLAK MASYARAKAT BALI?

AKMAL Lutfitansyah, Matthew ABEL Emanuel, Farel NOVAL Jamaluddin, Bryan Kevina CANDRA (Mahasiswa Program Sarjana Teknik Kelautan FTK ITS)

Provinsi Bali merupakan provinsi yang paling banyak didatangi wisatawan baik wisatawan nasional maupun internasional karena pariwisata di Bali adalah pariwisata adat budaya yang mempunyai daya tarik tersendiri yang berbeda dari daerah lain di Indonesia. Di samping pesona alam pegunungan dan pesisir yang indah menjadi daya tarik wisatawan. Dari pariwisata ini dapat meningkatkan pendapatan dari devisa pemerintah dan negara.

Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 sangat kecil dibandingkan dengan Provinsi Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Kebutuhan akan lahan pertanahan untuk pariwisata di Bali inilah yang memunculkan ide reklamasi di selatan Bali.

Pada tahun 2011 pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan (RTRW) Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita). Perpres ini disambut baik oleh masyarakat Bali dan lembaga swadaya lingkungan hidup di Bali karena dapat menjadi kebijakan sebagai pengawasan dan pengendalian terhadap pembangunan bertendensi bisnis dari investor dalam maupun luar negeri juga melindungi kawasan konservasi di Bali.

Selanjutnya pro-kontra bermula dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Perpres No 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita, yang mengubah status konservasi Teluk Benoa menjadi kawasan pemanfaatan umum.

Pasca penerbitan Perpres 51 tahun 2014, PT. Tirta Wahana Bali International (PT. TWBI) sebagai pengembang kawasan Teluk Benoa juga telah mengajukan surat izin lokasi reklamasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan di kawasan perairan Teluk Benoa yang meliputi Kabupaten Badung dan Kota Denpasar Provinsi Bali seluas 700 hektar.

Rencana reklamasi ini dikemudian hari menimbulkan gejolak sosial, dimana banyak masyarakat Bali yang menolak terhadap kegiatan reklamasi tersebut. Bertahun-tahun pihak yang kontra reklamasi ini berjuang dengan melakukan upaya baik secara formal maupun informal melaui media maupun unjuk rasa untuk menolak reklamasi Telok Benoa Bali.

PRO-KONTRA

Rencana reklamasi Teluk Benoa Bali ada 2 pihak yang pro dan kontra. Pihak pro reklamasi melihat bahwa reklamasi akan mendatangkan profit ekonomi yang tinggi dan jaminan kesejahteraan, masyarakat Bali, karena terbukanya lapangan pekerjaan baru, juga adanya jaminan pengelolaan dampak lingkungan yang baik. Sedangkan pihak yang kontra karena kekhawatiran akan rusaknya kelestarian alam Teluk Benoa.

Pihak yang menolak rencana reklamasi berpendapat bahwa kawasan yang akan direklamasi adalah kawasan konservasi untuk pelestarian ekosistem. Apabila kawasan konservasi direklamasi berarti melanggar peraturan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan). Selain itu selama ini kawasan Teluk Benoa adalah Kawasan Suci yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara adat umat Hindhu di Bali yang tidak boleh dimanfatkan untuk kepentingan bisnis apalagi direklamasi pantainya (Note: karena alasan inilah dikemudian hari/saat ini Telok Benoa ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Maritim/KKM, melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 46/KEPMEN-KP/2019).

Kawasan Teluk Benoa merupakan daerah pengendapan sedimen liat dan pasir yang produktif, hal terlihat setelah adanya reklamasi Pulau Serangan, dimana sedimentasi tanah liat terakumulasi pada beberapa tempat yaitu di bagian timur dan selatan. Sedangkan sedimentasi pasir terakumulasi di sebelah barat kawasan Teluk Benoa . Oleh karena itu, kawasan perairan Teluk Benoa merupakan salah satu daerah pesisir yang sangat rawan terkena pendangkalan akibat sedimentasi yang tinggi yang berakibat kepada kerusakan ekosistem pesisir seperti terumbu karang, mangrove dan lamun. Dan terlebih lagi saat ini dengan telah dibangunnya jalan tol Sanur-Bandara yang melintas di Teluk Benoa.

Karena itu kelompok yang kontra reklamasi, memulai gerakan perlawanan, yang paling diingat publik adalah yang menamakan ForBali. ForBali melibatkan banyak elemen -elemen yang ada di Bali antara nya LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat ), kelompok nelayan, warga desa adat, komunitas, mahasiswa dan akademisi hingga para seniman asli Bali.

Alasan gerakan kontra reklamasi ini menilai banyak dampak negatifnya, diantaranya reklamasi akan merusak fungsi dan nilai konservasi kawasan perairan Teluk Benoa sebagai reservoir dari 5 daerah aliran sungai besar di Bali, Mengancam ekosistem mangrove sebagai pelindung abrasi pantai selatan Bali dan tempat nelayan mencari ikan, serta dapat memperparah abrasi pantai disisi pantai selatan Bali lainnya, contohnya Nusa Dua, Sanur, dan Gianyar.

Selain itu dikhawatirkan dengan dibangunnya pulau hasil reklamasi untuk kawasan bisnis dan perhotelan, dapat merusak citra pariwisata Bali yang terkenal dengan alam yang indah dan budaya dan spiritualitasnya.

MITIGASI DAN KOMUNIKASI

Mencermati histori penolakan reklamasi Teluk Benoa diatas, apakah sebenarnya reklamasi itu menakutkan?

Secara teoritis dan teknis reklamasi yang dilaksanakan dengan mengikuti prinsip-prinsip reklamasi yang berkelanjutan, dapat managable (dapat dikelola dampaknya), tentunya juga dengan komunikasi dan koordinasi sejak dari awal perencanaan, dan peruntukan lahan reklamasi tersebut dari segenap lembaga masyarakat, tidak serta merta keinginan dari investor saja.

Siteplan dan peruntukan reklamasi yang sebelumnya telah dipaparkan dan ditolak dapat berubah secara drastis dengan mempertimbangkan adat budaya masyarakat Bali dan prioritas konservasi/reservoar Teluk Benoa. Sehingga tujuan dari reklamasi untuk memajukan suatu wilayah dan tetap tidak mengesampingkan kelestarian lingkungan bisa tercapai, sehingga manfaat reklamasi akan dirasakan bagi masyarakat Bali, baik itu di sektor ekonomi, pariwisata, budaya ataupun kelestarian lingkungan.

REKLAMASI PANTAI LOSARI KOTA MAKASSAR: DAMPAK LINGKUNGAN DAN SOSIAL EKONOMI

ILHAM Kurniawan, NAPOLEON Bonaparte Nakiva, Ikla SHAFY (Mahasiswa Program Sarjana Teknik Kelautan FTK ITS)

Center Point of Indonesia (CPI) merupakan salah satu reklamasi pantai yang terletak di daerah pesisir pantai losari kota makassar dengan luas 157,23 Ha. Pengadaan Reklamasi tersebut merupakan bentuk inisiatif dari pemerintah kota makassar untuk membangun gedung Wisma Negara.

Alasan utama pengadaan Reklamasi CPI adalah salah satu mitigasi untuk meminimalisir abrasi akibat kenaikan volume air laut tiap tahunnya. Dengan alasan tersebut diperkuat dengan beberapa dampak positif yang akan timbul akibat adanya proyek ini seperti meningkatkan kualitas ekonomi , pengurangan lahan yang dirasa kurang produktif serta penyerapan tenaga kerja di wilayah sekitar.

Swasta menjadi pengelola terbesar dengan 68% dari total luas lahan yang akan direklamasi, sedangkan pemerintah setempat mendapat pembagian 32% untuk pengelolaan reklamasi Center Point of Indonesia.

Proyek tersebut bukan tanpa kendala. Pembangunan CPI mendapat banyak kecaman dari berbagai kelompok masyarakat seperti Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) kota makassar yang membawahi beberapa lembaga masyarakat seperti Blue Forest, LBH Makassar dan lain lain.

Masyarakat menilai bahwa pengadaan reklamasi tersebut meskipun diinisiasi oleh pemerintah provinsi namun dinilai belum mendapatkan izin secara resmi dari pemerintah pusat yang sudah diatur tentang perundang undangan reklamasi. Selain Itu berikut adalah beberapa dampak negatif yang mendorong masyarakat untuk mendesak pihak terkait untuk menghentikan proyek tersebut.

Jika dilihat dari sektor lingkungan, data pada tahun 2020, Walhi mencatat terdapat 11 desa yang terdampak abrasi akibat adanya pembangunan CPI. Dari 11 desa yang terdampak terdapat 5 desa yang tergolong parah akibat abrasi. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya 27 rumah warga sekitar yang rusak parah. Dampak buruk tersebut terjadi akibat tambang pasir laut yang terjadi pada kurun waktu 2017-2018 yang disinyalir tidak mempertimbangkan perundang undangan pemerintah pusat terkait peraturan reklamasi dan pelarangan penambangan pasir laut.

Berdasarkan survey yang telah dilakukan kepada 30 orang disekitar kawasan reklamasi didapatkan bahwa sumberdaya perikanan setelah adanya reklamasi yang mengalami penurunan yang sangat drastis, adapun beberapa sumberdaya yang mengalami penurunan yakni ikan kerang dan kepiting. Sebelum adanya reklamasi para responden menjawab jumlah ikan yang mereka dapatkan tergolong banyak yaitu 15 kg/ hari, namun setelah adanya reklamasi semua responden menjawab jumlah ikan yang ditangkap menjadi sedikit. Begitu juga dengan kerang dan kepiting yang awalnya para responden bisa mendapatkan dalam jumlah yang banyak setelah adanya reklamasi jumlahnya menjadi sedikit.

SOLUSI DAN MITIGASI

Dampak yang muncul dari pembangunan CPI (Center Point of Indonesia) sudah muncul secara nyata dan dirasakan oleh masyarakat. Dampak yang muncul bukan hanya dari satu faktor, tetapi banyak faktor yang terdampak oleh proses pembangunan CPI ini. Pemerintah dalam hal ini yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan DPRD Sulsel telah merekomendasikan agar aktivitas reklamasi dihentikan sementara hingga disahkannya peraturan daerah tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun himbauan yang diberikan tersebut diabaikan begitu saja.

Jika merujuk pada UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, maka seharusnya Pemprov Sulsel lebih dulu membuat peraturan daerah (perda) tentang penataan wilayah pesisir ataupun pulau-pulau kecil. Namun faktanya Pemprov Sulsel mengizinkan pembangunan proyek CPI sebelum perda dimaksud terbit. Padahal pada tahun 2017 Pemprov Sulsel telah diingatkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan agar berhati-hati memberi izin proyek reklamasi. KKP sendiri dengan jelas menyatakan tidak merekomendasikan pembangunan proyek CPI sebelum zonasi penataan wilayah pesisir diatur dalam perda. Terlebih lagi, wilayah reklamasi pantai Losari termasuk di dalam rencana kawasan strategis nasional sehingga pembangunannya memerlukan persetujuan dari kementerian terkait.

Permasalahan ini semestinya diselesaikan dengan secepatnya karena dampak yang dirasakan oleh masyarakat lebih parah daripada sebelum pembangunan CPI ini berlangsung. Pembangunan semestinya dihentikan karena dilihat dari segi kesiapan Pemprov dan dampak yang diberikan membuktikan bahwa pembangunan CPI ini bukanlah solusi dari permasalahan abrasi tersebut. Pemerintah juga harus membantu masyarakat desa yang terkena dampak abrasi dengan pemenuhan sandang pangan papan serta bantuan perbaikan bagi desa yang terkena dampak pembangunan tersebut.

Untuk permasalahan abrasi di Kota Makassar mungkin bisa dikurangi dampak yang diberikannya dengan penanaman hutan bakau di sekitar wilayah pesisir Kota Makassar. Hal tersebut membuat dampak abrasi bisa berkurang dan pedesaan yang terkena abrasi meskipun abrasi yang terjadi tersebut tidak terjadi secara merata dan hanya terjadi musiman saja. Dengan hal tersebut masyarakat pedesaan dapat lebih tenang terhadap abrasi karena abrasi akan berkurang dan dampak yang diberikan tidak akan separah sebelum hutan bakau mulai ditanam.

Tujuan utama diadakannya reklamasi adalah memperbaiki lahan yang rusak terutama pada daerah pesisir akibat gelombang yang besar. maka dari itu untuk memperbaikinya, fungsi reklamasi adalah memulihkan kondisi pesisir. Selain itu juga memberikan upaya perlindungan untuk menghindari kerusakan di hari nanti. Memperluas Lahan merupakan salah satu alasan pentingnya reklamasi melihat kebutuhan didarat yang semakin sempit mendorong perluasan lahan di wilayah pantai, selain untuk tempat tinggal pembangunan di pesisir pantai juga terkadang memiliki tujuan ke arah pariwisata.

Dalam proses pembangunan, aspek sosial ekonomi penduduk merupakan dasar yang sangat penting. Menurut Hagul (1985) pendekatan sosial ekonomi pembangunan terbatasi atas tiga berdasarkan manusianya, yaitu : The Trickle Down Theory, yaitu suatu pendekatan program percepatan pembangunan dan hasilnya dinikmati baik secara langsung atau tidak oleh masyarakat. Berikutnya Terdapat Basic Needs Approach, yaitu pendekatan yang meliputi upaya secara langsung menanggulangi masalah kebutuhan pokok misalnya : Gizi, kesehatan, kebersihan, pendidikan, dll. Development From Within, merupakan pendekatan ketiga yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengembangkan potensi kepercayaan dan kemampuan masyarakat itu sendiri serta membangun sesuai tujuan yang mereka kehendaki.

POSITIF NEGATIF REKLAMASI PANTAI TAPAKTUAN, KABUPATEN ACEH SELATAN

Adira Fitria PUTRI, Dwi Prawira KUSUMA, Luthfan Taufiqul HAFIZH (Mahasiswa Program Sarjana Teknik Kelautan FTK ITS)

Setiap kali muncul kabar tentang reklamasi, respon masyarakat hampir seragam menolak dan cenderung negatif. Sebenarnya apa itu reklamasi? Bagaimana dampak reklamasi bagi lingkungan dan penduduk sekitar?

Reklamasi sendiri adalah suatu metode yang digunakan untuk menciptakan lahan di kawasan perairan, umumnya di daerah pesisir pantai. Reklamasi ini dilakukan dengan menimbun pasir atau tanah ke pesisir pantai sehingga dapat menciptakan lahan baru yang berada di atas permukaan air laut sehingga tidak terendam air (Imawan, 2021).

Reklamasi sendiri bukanlah hal yang baru di Indonesia. Di Indonesia sudah terdapat 197 situs reklamasi yang selesai dibangun, tersebar dari Aceh hingga Papua. Sekarang muncul pertanyaan baru, jika reklamasi ternyata sudah sebanyak itu di Indonesia, jadi sebenarnya reklamasi itu bagus atau buruk?

Reklamasi memiliki banyak tujuan untuk dilakukan, baik digunakan sebagai kepentingan masyarakat umum hingga kepentingan bisnis korporat. Pada umumnya reklamasi dilakukan dengan mempertimbangkan segala macam aspek yang ada di lokasi, termasuk aspek lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat. Seharusnya, dengan adanya pertimbangan tersebut, reklamasi tidak akan memberikan dampak negatif terhadap masyarakat yang tinggal di dekat situs reklamasi.
Lalu bagaimana realisasi pertimbangan tersebut?

Bagaimana sebenarnya dampak nyata dari adanya reklamasi terhadap lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat sekitar? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, di sini kita akan mengambil contoh salah satu kasus reklamasi yang ada di Sumatra, lebih tepatnya di Kecamatan Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan.


Di Kecamatan Tapaktuan, yang merupakan ibukota dari Kabupaten Aceh Selatan, telah dilakukan reklamasi sejak tahun 2002 hingga sekarang. Total sudah terdapat beberapa situs reklamasi yang dibangun untuk nantinya digunakan sebagai daerah pemukiman penduduk, perkantoran, pertokoan, pelabuhan umum, taman kota, dan sarana sosial lainnya. Pemerintah daerah setempat memutuskan untuk melakukan reklamasi karena Kecamatan Tapaktuan ini dikelilingi oleh pegunungan yang akan sulit untuk melakukan perluasan lahan ke arah daratan.

Salah satu situs reklamasi yang terkenal di Kecamatan Tapaktuan adalah situs reklamasi RTH Pantai Taman Pala Indah dan Masjid Terapung An-Nur. Tanah reklamasi seluas 4,13 hektar tersebut terletak tidak jauh dari Pelabuhan Tapaktuan.

Kembali ke pertanyaan sebelumnya, apa dampak dari adanya reklamasi pantai tersebut terhadap lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat sekitar? Telah dilakukan penelitian oleh mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh yang menunjukkan bahwasanya reklamasi pantai memang benar memiliki dampak terhadap perubahan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat Kecamatan Tapaktuan (Husna, Alibasyah, & Indra, 2012).

NEGATIF

Dalam penelitian tersebut, disebutkan bahwasanya terjadi pengurangan biota laut di area sekitar situs reklamasi yang mengharuskan masyarakat untuk mencari ikan lebih jauh ke lautan. Beberapa biota laut tersebut antara lain adalah kepiting dan ikan karang, termasuk terumbu karang itu sendiri. Untuk kepiting dan ikan di sekitar area pesisir sebelum adanya reklamasi nelayan umumnya bisa menangkap lebih dari 7,5 kg akan tetapi setelah adanya reklamasi menurun hingga kurang dari 2,5 kg. Sementara terumbu karang yang awalnya luasnya mencapai lebih dari 2 hektar, kini berkurang hingga menjadi kurang dari 1 hektar.

Meskipun begitu, perubahan yang berbeda terjadi pada biota darat seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan darat lainnya yang malah mengalami peningkatan jumlah setelah dilakukannya reklamasi. Jumlah kupu-kupu dan burung kutilang mengalami peningkatan. Penduduk sekitar melaporkan bahwa sebelum adanya reklamasi, dalam sehari penduduk mendapati hanya ada 1-3 ekor burung yang terlihat. Sementara setelah adanya reklamasi, dalam sehari ada lebih dari 5 burung yang terlihat.

Selain hewan, terjadi perubahan terhadap jumlah vegetasi di darat di area sekitar reklamasi. Sebelum adanya reklamasi, jumlah pohon kelapa disebutkan banyak, sekitar lebih dari 10 pohon, akan tetapi setelah adanya reklamasi menurun hingga hanya berkisar antara 1-5 pohon saja. Sementara tumbuhan lainnya seperti rumput dan tanaman liar yang awalnya sedikit sebelum reklamasi dengan luasan kurang dari 400 m persegi, kini bertambah banyak setelah adanya reklamasi hingga mencapai 2 hektar-an.

POSITIF

Sosial dan ekonomi masyarakat sekitar juga turut berubah dampak dari adanya reklamasi. Beberapa aspek seperti jaminan rasa aman, kesempatan kerja, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan, tingkat informasi, hingga kunjungan masyarakat luar daerah meningkat banyak dibandingkan sebelum adanya reklamasi. Kondisi peningkatan tingkat kesehatan masyarakat ini menunjukkan bahwasanya reklamasi tidak memiliki dampak negatif terhadap kualitas air. Selain itu profesi masyarakat juga banyak yang bergeser menjadi nelayan setelah dilakukannya reklamasi.

Pendapatan masyarakat mengalami penaikan yang signifikan dari sebelum ke sesudah reklamasi. Sebelum reklamasi, pendapatan rata-rata masyarakat berkisar antara Rp 1,4 juta per bulan, akan tetapi setelah adanya reklamasi, pendapatan meningkat menjadi Rp 2,1 juta atau meningkat hampir 50%-an.

Reklamasi ini juga menjadi salah satu icon dari Kecamatan Tapaktuan yang kini berubah menjadi daerah pariwisata. Dengan adanya reklamasi artifisial yang dipadu dengan keindahan alam natural dari pegunungan dan pantai di sekitar, membuat banyak wisatawan yang tertarik untuk datang ke Kecamatan Tapaktuan. Secara statistik, kunjungan wisatawan luar daerah ke Kecamatan Tapaktuan meningkat lebih dari 20% dibandingkan sebelum adanya reklamasi pantai.

MITIGASIt

Selah membicarakan panjang lebar studi kasus reklamasi di Kecamatan Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan, kembali ke pertanyaan semula, lantas apakah reklamasi itu baik atau buruk? Reklamasi memiliki dampak yang berbagai macam kepada lingkungan dan masyarakat. Akan ada sisi positif dan sisi negatif dari adanya reklamasi. Hanya saja bagaimana pertimbangan dan perhitungan agar sisi positif tersebut jauh lebih banyak dibandingkan sisi negatifnya.

Salah satu pekerjaan rumah yang perlu ditindaklanjuti juga adalah terkait perubahan bentang alam disekitar lokasi reklamasi, misalnya abrasi atau sedimentasi karena perubahan arus dari adanya reklamasi ini.

Beberapa faktor yang bersifat teknis ini masih perlu untuk dilakukan studi lebih lanjut sehingga tidak dicantumkan dalam artikel ini (Anugrah, 2015).

Agar sesuai harapan bahwa reklamasi dapat memberikan dampak positif yang lebih besar, dampak negatifnya dapat dikelola dengan baik.