Tag Archives: mangrove

EKOWISATA PULAU MAITARA MALUKU UTARA

Haarits Rayhan, Muhammad Anugerah Pragnyono, Dion Presetyo Sondakh, Selly Nurul Hikmayanti, Nurul Karunia (Teknik Kelautan FTK ITS)

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri pariwisata. Industri pariwisata di dunia serta khususnya Indonesia secara keseluruhan telah berkembang pesat. Perkembangan industri tidak hanya berdampak pada peningkatan pendapatan devisa negara, tetapi juga memperluas peluang usaha untuk mengatasi pengangguran lokal dan menciptakan lapangan kerja baru di masyarakat.

Sektor pariwisata juga merupakan salah satu dari tiga penghasil devisa terbesar di provinsi Indonesia. Kebijakan kepariwisataan itu sendiri sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Pulau Maitara

Kota Tidore merupakan wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Utara adalah salah satu kabupaten kepulauan, dengan potensi alam yang yang dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata bahari.

Salah satu daerah wisata tersebut, adalah Pulau Maitara yang sudah terkenal, dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata dengan mengedepankan tatanan budaya di daerah Maluku Utara sehingga memberikan dampak yang minimal terhadap pergeseran nilai-nilai budaya, defleksi serta perilaku masyarakat di wilayah Pulau Maitara. Tentu saja sejak dari perencanaan harus membuka kesempatan dan keterlibatan dari warga dalam mengembangkan kawasan tersebut.

Pulau Maitara terletak di antara Pulau Tidore dan selatan Pulau Ternate, atau lebih tepatnya berada di Kota Tidore Kepulauan (Tikep) yang secara administrasi masuk kedalam Kecamatan Tidore Utara Kota Tidore Kepulauan Propinsi Maluku Utara. Pulau Maitara merupakan pulau kecil yang berpenduduk.

Daya Tarik Wisata Pulau Maitara

Dari segi potensi alam yang dimiliki, Pulau Maitara memiliki beberapa bentang alam yang menarik dan layak dikunjungi, antara lain pegunungan, pantai, hutan, udara, dan kekayaan laut. Secara fisik, Pulau Maitara didominasi oleh kawasan perbukitan dan pegunungan yang berfungsi sebagai hutan lindung. Keberadaan gunung ini memiliki keindahan yang jika dilihat dari luar pulau Maitara, wisatawan tertarik untuk mendekat dan mengunjungi pulau tersebut. Pegunungan di Pulau Maitara juga memiliki lereng yang landai dan curam. Lereng gunung pulau Maitara yang landai menarik wisatawan untuk panjat tebing karena relatif mudah dilalui oleh pendaki.

Bentang alam pesisir memiliki ekosistem mangrove yang menarik. Kondisi pantai yang landai dan ombak air yang relatif tenang membuat suasana pantai sangat bersahabat bagi wisatawan. Keunikan pantai Maitara adalah pasir putihnya yang berbeda dengan jenis pasir pantai di bagian pantai Tidore lainnya.

Kekayaan bawah laut Pulau Maitara mengandung ekosistem terumbu karang yang cocok untuk dikunjungi melalui kegiatan wisata diving dan snorkeling.

Sedangkan dari segi potensi budaya, Keanekaragaman suku dan cara hidup sosial merupakan kombinasi unik dari kehidupan masyarakat dan berbagai keunikan budayanya karena pulau maitara terdiri dari keturunan suku Tidore, Makian, dan Bugis.

Paulau Maitara juga memiliki beberapa kesenian yang menarik, dan Tari Soya Soya merupakan tarian yang istimewa dan istimewa yang menghibur para tamu. Kesenian ini sangat mendukung pengembangan pariwisata ramah wisatawan. Seni acara Tariqa dan Badabas juga dapat ditemukan di pulau Maitara.

Untuk potensi wisata unggulan pulau maitara sendiri, terdapat tiga tempat yang wajib dikunjungi yaitu, wisata tugu uang seribu, wisata pantai ake bai, dan wisata hutan mangrove maitara.

Pemberdayaan Masyarakat

Upaya pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktifitas dan perekonomian masyarakat Pulau Maitara sehubungan dengan pengelolaan ekowisata antara lain, pertama dengan meningkatkan solidaritas dan aksi kolektif masyarakat Pulau Maitara. Pemberdayaan melalui pengembangan aksi kolektif yang merupakan suatu aksi bersama yang bermuara pada kesejahteraan setiap anggota secara individu. Untuk pengelolaan wilayah ekowisata harus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat sehingga tingkat kesejahteraan dapat dicapai.

Kedua, pendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya guna. Upaya meningkatkan pendapatan dilakukan melalui perbaikan teknologi, mulai dari teknologi produksi hingga pasca produksi dan pemasaran. Dengan peran teknologi pengelolaan pariwisata dapat dilakukan dengan maksimal.

Ketiga, mendekatkan Masyarakat dengan pasar
Pengembangan ekowisata perlu diimbangi juga dengan promosi pada khalayak ramai. Dengan ekowisata yang dikenal banyak orang dan terus berkembang akan memberikan feedback positif untuk masyarakat Pulau Maitara.

Keempat, mendekatkan Masyarakat dengan sumber modal. Hal penting yang harus dilakukan adalah memastikan modal dalam pengembangan ekowisata dapat dianggarkan. Perlu adanya koordinasi dengan pemerintah untuk modal awal. Yang nantinya juga akan berdampak pada perkembangan pariwisata Indonesia.


Konsep ICZM dalam pengembangan Ekowisata Pulau Maitara

Pengelolaan wilayah pulau Maitara sebagai Kawasan ekowisata merupakan suatu komponen yang harus dilakukan guna menunjang pembangunan di Indonesia. Sehingga perlu dilakukan perencanaan yang matang. Untuk wilayah pesisir metode yang dapat digunakan yaitu ICZM yang merupakan suatu pendekatan yang komprehensif yang dikenal dalam pengelolaan wilayah pesisir, berupa kebijakan yang terdiri dari kerangka kelembagaan dan kewenangan hukum yang diperlukan dalam pembangunan dan perencanaan pengelolaan untuk kawasan pesisir yang terpadu dengan tujuan lingkungan hidup dan melibatkan seluruh sektor yang terkait.

Pemberdayaan masyarakat secara khusus dan eksistensi masyarakat secara umum perlu diinternalisasikan dalam pengembangan, perencanaan, serta pelaksanaan pengelolaan sumber daya pesisir secara terpadu. Faktor kemitraan antara seluruh stakeholder dalam proses perencanaan hingga evaluasi harus ditumbuhkembangkan. Komponen-komponen yang terlibat dalam kemitraan pengeloaan pesisir, antara lain adalah masyarakat lokal, perintah (pusat dan daerah), LSM, media massa, swasta, donor, organisasi internasional, masyarakat ilmuwan. Beberapa aspek yang berkenan dengan masyarakat adalah kekuatan penentu (driving forces) status dan eksistensi suatu kawasan pesisir.

KAMPUNG LAUT BONTANG KUALA MENUJU SMART MARINE ECO TOURISM

Elang Setia Pratama, Dedy Rizaldy, Adiwira Surya Susanto, Tyas Naufal Hilmy (Teknik Kelautan FTK ITS)

Indonesia merupakan negara dengan potensi dan sumber daya alam laut yang melimpah, di mana luas wilayah perairannya mencapai 3,257 juta km2 sesuai dengan yang tertera pada United Nation on the Law of the Sea ( UNCLOS ). Potensi perairan yang besar ini dapat mendukung program Blue Economy, sebuah program yang dicanangkan oleh World Bank untuk mendukung pemanfaatan sumber daya alam laut di berbagai sektor, seperti pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pekerjaan dengan tetap memperhatikan kesinambungan dan menjaga keasrian ekosistem laut.

Blue Economy

Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ( Bappenas ), Indonesia sendiri sudah menyiapkan rancangan pengembangan ekonomi di daerah- daerah pesisir yang sesuai dengan prinsip Blue Economy. Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi pemanfaatan perairan yang besar sehingga dapat mendukung tujuan Blue Economy adalah Kampung Laut Bontang Kuala. Daerah ini terletak di wilayah timur Kota Bontang dan berada di pesisir barat perairan Selat Makassar. Dengan jumlah penduduk sebanyak 4.823 jiwa dan luas wilayah sebesar 585 Ha, Kampung Laut Bontang Kuala menyimpan dan menyajikan keindahan alam berupa hamparan laut dan ombak yang luas, serta menjadi tujuan wisata lokal maupun mancanegara. Tidak hanya itu, daerah ini juga dijadikan sebagai tempat konservasi mangrove dan tumbuhan laut lainnya.

Kampung Laut Bontang berpotensi dikembangkan menjadi Marine Eco Tourism dan dilengkapi dengan teknologi penghasil energi bertenaga ombak dan arus laut sehingga pemanfaatan dan pengembangan daerahnya sesuai dengan prinsip Blue Economy, yaitu pemanfaatan sumber daya alam perairan yang berkesinambungan.

Wisata Bahari Kampung Laut Bontang Kuala

Kampung Laut Bontang Kuala merupakan kawasan wisata bahari dengan berbagai fasilitas yang menunjang turis lokal maupun mancanegara untuk menikmati keindahan perkampungan di atas laut yang juga pemandangan ombak laut itu sendiri. Tempat wisata ini memiliki komoditas unggulan di bidang perikanan, seperti udang, kepiting, ikan kerapu, dan perikanan lainnya. Hasil dari perikanan yang ditangkap oleh nelayan setempat dapat langsung diperjual belikan dan diolah langsung untuk diminati oleh turis sehingga memberikan pengalaman menikmatin sajian laut yang segar dan langsung dari nelayannya.

Selain itu, Kampung Laut Bontang Kuala juga menyajikan keindahan alam lainnya seperti hutan mangrove dan terumbu karang yang berada di sekitar kawasan Kampung Laut Bontang Kuala. Turis dapat menikmati pemandangan laut dan hamparan hutan mangrove serta terumbu karang yang luas.

Pemandangan laut Kampung Laut Bontang Kuala


Ritual Adat Pesta Laut Mencera Buluh

Kampung Laut Bontang Kuala juga menawarkan pengalaman menyaksikan kehidupan khas nelayan suku Bugis dengan berbagai tradisi dan budaya yang masih kental. Pengunjung dapat menikmati perayaan pesta laut yang diadakan tiap akhir tahun oleh nelayan lokal. Pesta laut ini merupakan pesta adat yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa atas hasil yang didapatkan saat melaut. Pesta Laut ini rutin diselenggarakan di pertengahan bulan November hingga Desember dengan berbagai susunan acara dan ritual adat.

Salah satu yang terkenal adalah ritual adat Mencera Buluh atau diartikan dalam bahasa Indonesia adalah menjamu kampung. Tujuan ritual adat ini adalah untuk memberitahu dan menghormati roh penjaga perairan kampung Bontang Kuala dengan meletakkan darah ayam kampung dan pembuatan singgasana dari rotan dan janur kuning yang diikat dan dianyam. Selanjutnya adalah Melabuh Perahu, sebuah ritual adat di mana sebuah perahu kecil dilabuhkan sambil diiringi oleh musik tradisional masyarakat sekitar, seperti gendang dan gelintangan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjauhkan penyakit dan musibah dari masyarakat Kampung Laut Bontang Kuala.

Pesta Laut ini masih kental pada masyarakat sekitar Kampung Laut Bontang Kuala dan terus dijalankan hingga saat ini sebagai bentuk upaya untuk melestarikan warisan budaya Indonesia. Turis juga dapat mengikuti kegiatan upacara yang dilakukan saat pesta laut bersama masyarakat sekitar. Terdapat juga perlombaan yang diadakan seperti balap kapal, lomba mendayung, dan panjang pinang sehingga dapat menarik perhatian turis, terutama mancanegara.

Smart Eco Tourism

Potensi yang ada pada Kampung Laut Bontang Kuala dapat disempurnakan sesuai dengan penerapan Integrated Coastal Zone Management (ICZM ) sehingga dapat mewujudkan salah satu penerapan Blue Economy, yaitu Smart Marine Eco Tourism. Penerapan ini dapat diwujudkan dengan pengimplementasian teknologi penghasil listrik dari energi laut.

Pembangkit energi terbaharukan yang optimal untuk kawasan Kampung Laut Bontang Kuala adalah Oscillating Water Column ( OCW ) dan turbin angin karena gelombang laut dan kecepatan angin yang cukup kencang di daerahnya. Implementasi kedua pembangkit listrik tersebut dapat menunjang kebutuhan listrik masyarakat sekitar dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada dan hasil energi listriknya dapat langsung disalurkan ke rumah warga. OCW dapat diletakkan di tiang pancang rumah warga dan turbin angin dapat diletakkan di daerah sekitar pesisir yang memiliki kecepatan angin yang paling kuat. Hasil energi dari OCW dapat digunakan untuk kebutuhan listrik perumahan warga dan hasil listrik dari turbin angin dapat digunakan untuk menyalakan lampu jalan dan fasilitas umum.

ICZM DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI BERKELANJUTAN DI NUSA PENIDA

Haarits Rayhan, Muhammad Anugerah Pragnyono, Dion Presetyo Sondakh, Selly Nurul Hikmayanti, Nurul Karunia (Teknik Kelautan FTK ITS)

Indonesia merupakan negara yang memiliki 16.771 pulau, dengan letak yang berbeda-beda setiap pulau ini maka akan berbeda pula kondisi alam yang ada. Selain itu Indonesia juga merupakan negara yang tergolong rawan terhadap kejadian bencana alam, hal tersebut dikarenakan letak geografis Indonesia yang berlokasi di antara dua samudera besar dan terletak di wilayah lempeng tektonik. Akibatnya Indonesia juga masuk dalam wilayah cincin api (ring of fire), yang berarti Indonesia rawan terkena gempa bumi dan dapat menimbulkan tsunami.

Dengan banyaknya pulau yang dimiliki Indonesia, maka pastinya banyak wilayah pulau dan peisisir yang dapat dimanfaatkan, namun diperlukan pengelolaan yang tepat untuk pemanfaatan wilayah pesisir ini agar tidak menjadi bencana bagi masyarakat setempat.

Salah satu wilayah yang dapat dikelola oleh pemerintah serta memiliki daya tarik yang cukup memikat pengunjung adalah Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, yang merupakan kepulauan yang berada di Selatan Bali yang memiliki banyak kekayaan alam. Kecamatan Nusa Penida memiliki tiga pulau utama yaitu Nusa Penida, Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan yang semuanya dikelilingi oleh terumbu karang tepi (fringing reef) dengan luas 1600 hektar.

Kecamatan Nusa Penida terdiri dari tiga kepulauan yaitu pulau Nusa Penida, Pulau Lembongan dan Pulau Ceningan, terdiri dari 16 Desa Dinas, Dengan Jumlah Penduduk 46,749 Jiwa (8.543 KK). Pulau Nusa Penida bisa ditempuh dari empat tempat yaitu lewat Benoa dengan menumpang Quiksilver/Balihai ditempuh +1 jam perjalanan.

Secara umum kondisi Topografi Nusa Penida tergolong landai sampai berbukit. Desa – desa pesisir di sepanjang pantai bagian utara berupa lahan datar dengan kemiringan 0 – 3 % dari ketinggian lahan 0 – 268 m dpl. Seeta semakin ke selatan kemiringan lerengnya semakin bergelombang.

Pesona Alam Nusa Penida

Di Nusa Penida terdapat 230,07 hektar hutan mangrove yang mayoritas berada di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Berdasarkan hasil survey dan identifikasi mangrove kerjasama antara TNC Indonesia Marine Program dan Balai Pengelolaan Hutan Mangrove wilayah I pada bulan Februari 2010 di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, terdapat 13 jenis mangrove dan 7 jenis tumbuhan asosiasi. Selain itu juga dijumpai 5 jenis burung air dan 25 jenis burung darat yang dijumpai di sekitar hutan mangrove.

Hutan mangrove di Nusa Lembongan

Selain itu terdapat pula Padang Lamun, Padang Lamun di Nusa Penida seluas 108 hektar. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh TNC dan Universitas Udayana dijumpai sekitar 8 jenis lamun di Nusa Penida. Mayoritas Padang Lamun tumbuh di perairan dangkal dan berasosiasi dengan budidaya rumput laut. Rumput laut merupakan salah satu andalan produksi perikanan bagi masyarakat Nusa Penida, khususnya untuk jenis euchema spinossum.

Kawasan budidaya rumput laut di area lamun pesisir Nusa Lembongan

Ekosistem lainnya adalah terumbu karang. Hasil pemetaan terumbu karang yang dilakukan oleh TNC dengan menggunakan data satelit dari sumber Damaris (Citra Satelit) dan ground truth check di 13 titik, menunjukan luas total terumbu karang Nusa Penida adalah sekitar 1.419 hektar.

Di Nusa Penida juga dijumpai ikan Mola mola (Sunfish) yang menjadi icon bawah laut Nusa Penida, bahkan pulau Bali. Ikan Mola mola ini memiliki ukuran rata-rata 2 meter dan muncul di perairan Nusa Penida sekitar bulan Juli – September untuk membersihkan dirinya dari berbagai parasit dengan bantuan ikan-ikan karang, sekaligus berjemur untuk mendapatkan sinar matahari guna menyesuaikan suhu tubuh dikarenakan berada di perairan dalam cukup lama. Terdapat beberapa lokasi “cleaning station” ikan Mola mola di perairan Nusa Penida.

Selain Ikan Mola mola, juga ditemukan 576 jenis ikan di perairan Nusa Penida dimana diantaranya spesies baru yang belum pernah dijumpai dimanapun di dunia. Antara lain, Pari, Penyu, Dugong (Duyung), Lumba-Lumba dan Paus. (Kajian Ekologi Laut secara cepat – Rapid Ecology Assesment (REA) pada tahun 2008 oleh Gerry Allen dan Mark Erdmann).

Wisata Bahari Nusa Penida

Kekayaan hayati laut Nusa Penida diatas membawa banyak manfaat bagi masyarakat terutama dari sektor pariwisata bahari, perikanan dan perlindungan pantai. Terumbu karang yang cantik, ikan pari manta dan Mola mola menjadi atraksi favorit bagi pariwisata bahari di Nusa Penida. Terumbu karang, hutan bakau dan padang lamun juga merupakan rumah, tempat berkembang-biak, mencari makan dan berlindung bagi ikan-ikan dan biota laut lainnya. Disisi lain, terumbu karang, hutan bakau dan padang lamun adalah pelindung pantai alami dari gempuran ombak sehingga pantai tidak terabrasi.

ICZM dalam pengembangan wisata bahari

Pengelolaan wilayah pulau Nusa Penida sebagai kawasan ekowisata bahari merupakan suatu komponen yang harus dilakukan guna menjaga agar kawasan tersebut dapat terjaga ekosistemnya . Sehingga perlu dilakukan perencanaan yang matang. Untuk wilayah pesisir metode yang dapat digunakan yaitu ICZM (integrated coastal zone management) yang merupakan suatu pendekatan yang komprehensif yang dikenal dalam pengelolaan wilayah pesisir, berupa kebijakan yang terdiri dari kerangka kelembagaan dan kewenangan hukum yang diperlukan dalam pembangunan dan perencanaan pengelolaan untuk kawasan pesisir yang terpadu dengan tujuan lingkungan hidup dan melibatkan seluruh sektor yang terkait.

Tujuan dari ICZM adalah untuk memaksimalkan potensi keuntungan yang diperoleh dari kawasan pesisir dan meminimalkan dampak negatif dalam pengelolaan kawasan pesisir, baik pada sumber daya alam maupun terhadap lingkungan hidup.

Salah satu upaya yang cukup efektif untuk mengatasi ancaman terhadap sumberdaya hayati laut yaitu dengan pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Dalam pengelolaan kawasa konservasi perairan ini sangat diperlukan dukungan masyarakat, termasuk integrasi hukum adat yang dipertegas oleh para tokoh masyarakat agar dapat menjadi sebuah mental block dengan harapan tidak melakukan kerusakan pada lingkungan di pesisir dan laut daerah Nusa Penida.

Kawasan Konservasi Nusa Penida

Selain itu dalam pengelolaan wilayah Nusa Penida juga mempertimbangkan risiko bencana yang kemungkinan terjadi, karwna wilayah ini dilalui Ring Of Fire.

Upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif/kerusakan yang mungkin terjadi dari bahaya yang mungkin terjadi, misalnya tsunami, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan menanam mangrove secara massive disepanjang pantai Nusa Penida. Pengaturan moratorium dan konservasi hutan mangrove sangat berguna sebagai mitigasi bencana, karena mangrove akan mampu mengurangi dampak terjangan tsunami ke daratan dan pemukiman penduduk, dan fasilitas publik dalam menunjang wisata bahari yang telah dibangun, seperti dermaga dan resort yang telah diinvestasikan di wilayah Nusa Penida.

REKLAMASI TELUK BENOA: KENAPA DITOLAK MASYARAKAT BALI?

AKMAL Lutfitansyah, Matthew ABEL Emanuel, Farel NOVAL Jamaluddin, Bryan Kevina CANDRA (Mahasiswa Program Sarjana Teknik Kelautan FTK ITS)

Provinsi Bali merupakan provinsi yang paling banyak didatangi wisatawan baik wisatawan nasional maupun internasional karena pariwisata di Bali adalah pariwisata adat budaya yang mempunyai daya tarik tersendiri yang berbeda dari daerah lain di Indonesia. Di samping pesona alam pegunungan dan pesisir yang indah menjadi daya tarik wisatawan. Dari pariwisata ini dapat meningkatkan pendapatan dari devisa pemerintah dan negara.

Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 sangat kecil dibandingkan dengan Provinsi Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Kebutuhan akan lahan pertanahan untuk pariwisata di Bali inilah yang memunculkan ide reklamasi di selatan Bali.

Pada tahun 2011 pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan (RTRW) Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita). Perpres ini disambut baik oleh masyarakat Bali dan lembaga swadaya lingkungan hidup di Bali karena dapat menjadi kebijakan sebagai pengawasan dan pengendalian terhadap pembangunan bertendensi bisnis dari investor dalam maupun luar negeri juga melindungi kawasan konservasi di Bali.

Selanjutnya pro-kontra bermula dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Perpres No 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita, yang mengubah status konservasi Teluk Benoa menjadi kawasan pemanfaatan umum.

Pasca penerbitan Perpres 51 tahun 2014, PT. Tirta Wahana Bali International (PT. TWBI) sebagai pengembang kawasan Teluk Benoa juga telah mengajukan surat izin lokasi reklamasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan di kawasan perairan Teluk Benoa yang meliputi Kabupaten Badung dan Kota Denpasar Provinsi Bali seluas 700 hektar.

Rencana reklamasi ini dikemudian hari menimbulkan gejolak sosial, dimana banyak masyarakat Bali yang menolak terhadap kegiatan reklamasi tersebut. Bertahun-tahun pihak yang kontra reklamasi ini berjuang dengan melakukan upaya baik secara formal maupun informal melaui media maupun unjuk rasa untuk menolak reklamasi Telok Benoa Bali.

PRO-KONTRA

Rencana reklamasi Teluk Benoa Bali ada 2 pihak yang pro dan kontra. Pihak pro reklamasi melihat bahwa reklamasi akan mendatangkan profit ekonomi yang tinggi dan jaminan kesejahteraan, masyarakat Bali, karena terbukanya lapangan pekerjaan baru, juga adanya jaminan pengelolaan dampak lingkungan yang baik. Sedangkan pihak yang kontra karena kekhawatiran akan rusaknya kelestarian alam Teluk Benoa.

Pihak yang menolak rencana reklamasi berpendapat bahwa kawasan yang akan direklamasi adalah kawasan konservasi untuk pelestarian ekosistem. Apabila kawasan konservasi direklamasi berarti melanggar peraturan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan). Selain itu selama ini kawasan Teluk Benoa adalah Kawasan Suci yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara adat umat Hindhu di Bali yang tidak boleh dimanfatkan untuk kepentingan bisnis apalagi direklamasi pantainya (Note: karena alasan inilah dikemudian hari/saat ini Telok Benoa ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Maritim/KKM, melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 46/KEPMEN-KP/2019).

Kawasan Teluk Benoa merupakan daerah pengendapan sedimen liat dan pasir yang produktif, hal terlihat setelah adanya reklamasi Pulau Serangan, dimana sedimentasi tanah liat terakumulasi pada beberapa tempat yaitu di bagian timur dan selatan. Sedangkan sedimentasi pasir terakumulasi di sebelah barat kawasan Teluk Benoa . Oleh karena itu, kawasan perairan Teluk Benoa merupakan salah satu daerah pesisir yang sangat rawan terkena pendangkalan akibat sedimentasi yang tinggi yang berakibat kepada kerusakan ekosistem pesisir seperti terumbu karang, mangrove dan lamun. Dan terlebih lagi saat ini dengan telah dibangunnya jalan tol Sanur-Bandara yang melintas di Teluk Benoa.

Karena itu kelompok yang kontra reklamasi, memulai gerakan perlawanan, yang paling diingat publik adalah yang menamakan ForBali. ForBali melibatkan banyak elemen -elemen yang ada di Bali antara nya LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat ), kelompok nelayan, warga desa adat, komunitas, mahasiswa dan akademisi hingga para seniman asli Bali.

Alasan gerakan kontra reklamasi ini menilai banyak dampak negatifnya, diantaranya reklamasi akan merusak fungsi dan nilai konservasi kawasan perairan Teluk Benoa sebagai reservoir dari 5 daerah aliran sungai besar di Bali, Mengancam ekosistem mangrove sebagai pelindung abrasi pantai selatan Bali dan tempat nelayan mencari ikan, serta dapat memperparah abrasi pantai disisi pantai selatan Bali lainnya, contohnya Nusa Dua, Sanur, dan Gianyar.

Selain itu dikhawatirkan dengan dibangunnya pulau hasil reklamasi untuk kawasan bisnis dan perhotelan, dapat merusak citra pariwisata Bali yang terkenal dengan alam yang indah dan budaya dan spiritualitasnya.

MITIGASI DAN KOMUNIKASI

Mencermati histori penolakan reklamasi Teluk Benoa diatas, apakah sebenarnya reklamasi itu menakutkan?

Secara teoritis dan teknis reklamasi yang dilaksanakan dengan mengikuti prinsip-prinsip reklamasi yang berkelanjutan, dapat managable (dapat dikelola dampaknya), tentunya juga dengan komunikasi dan koordinasi sejak dari awal perencanaan, dan peruntukan lahan reklamasi tersebut dari segenap lembaga masyarakat, tidak serta merta keinginan dari investor saja.

Siteplan dan peruntukan reklamasi yang sebelumnya telah dipaparkan dan ditolak dapat berubah secara drastis dengan mempertimbangkan adat budaya masyarakat Bali dan prioritas konservasi/reservoar Teluk Benoa. Sehingga tujuan dari reklamasi untuk memajukan suatu wilayah dan tetap tidak mengesampingkan kelestarian lingkungan bisa tercapai, sehingga manfaat reklamasi akan dirasakan bagi masyarakat Bali, baik itu di sektor ekonomi, pariwisata, budaya ataupun kelestarian lingkungan.

Controling Mangrove 2016

Surabaya, NI. Dalam rangka peduli lingkungan, Nusantara Initiative mengadakan kegiatan Controling Mangrove 2016, pada hari Sabtu, 28 Februari 2016, di Eco Wisata Mangrove Wonorejo, Surabaya.

IMG-20160228-WA0007

Controling mangrove dilakukan dalam rangka peduli dan menjaga ekosistem mangrove, dengan aktivitas antara lain edukasi tentang mangrove dan diskusi dengan pengelola eco wisata mangrove terkait model pengelolaan hutan mangrove untuk wisata.

IMG-20160228-WA0008

Selain itu juga dilakukan bersih-bersih sampah plastik di area mangrove agar pertumbuhannya dapat terjaga.

IMG-20160228-WA0006

Ecowisata mangrove disini dikelola oleh Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, dimana mereka memelihara juga membibitkan mangrove untuk penanaman.

Dalam kesempatan ini juga dilakukan penanaman mangrove sebanyak 500 bibit di area/lahan yang mengalami kerusakan.

IMG-20160228-WA0009

Kegiatan ini dikoordinir oleh Muhsin Budiono selaku Capacity Building Manager Nusantara Inisitiative.

Ayo Jaga Lingkungan, semangat menyambut Hari Bumi di bulan April dan Hari Lingkungan di Bulan Juni!!!

(mb)