Memperingati Hari Nusantara 2021
“Abad 21 adalah abad Asia, atau abad China ? Apakah Garuda akan ditelan Naga, dimakan Beruang atau diinjak Gajah ?” Demikian statement Daniel M Rosyid, Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, pada acara Webinar dalam rangka Memperingati Hari Nusantara 2021 yang diselenggarakan oleh FTK ITS bekerjsama dengan KKP dan DKP Jatim.

Pendiri dan CEO dari Rosyid College Of Arts & Maritime Studies juga menambahkan bahwa setelah agenda kemaritiman Bung Karno ditinggal sama sekali oleh Soeharto, selama 30 tahun Orde Baru, sejak reformasi Gus Dur mulai membangun sektor kelautan di Indonesia. Dibantu oleh Sarwono Kusumaatmaja, Kabinet Gus Dur mulai membangun institusi di tingkat kementrian untuk mengurusi sumberdaya kelautan Indonesia.
Sayang sekali, pendekatan yg digunakan oleh Sarwono dan para pembantunya masih terperangkap pada sumberdaya kelautan sebagai komoditas yang bisa diekspor. Sebuah praktek yang lama dilakukan oleh Orde Baru : ekonomi yg dipijakkan pada komoditas sejak pertanian, hingga pertambangan. Mind set Kabinet Orde Baru sudah ditentukan sejak awal oleh para menterinya lulusan AS yang menempatkan negara-negara ketiga seperti Indonesia sebagai sumber buruh murah, dan bahan baku bagi kepentingan industri Barat sekaligus pasar bagi produk-produk industri Barat. Ini terjadi hingga saat ini.

Tugas Sarwono yang membangun institusi baru memang berat untuk mengubah mind set pembangunan berbasis darat selama Orde Baru untuk bergeser ke laut sebagai ruang pembangunan baru. Dibantu oleh pakar-pakar perikanan dan pertambangan dari beberapa kampus ternama, Kabinet Gus Dur dan Megawati kemudian masih belum melihat kemaritiman yang melihat laut lebih sebagai ruang. Dari perspektif Delarasi Djuanda, ini adalah sebuah kekeliruan, jika bukan kelengahan.
Deklarasi Djuanda pada 1957 sesungguhnya lebih melihat laut Indonesia sebagai ruang. Laut dilihat sebagai instrumen pemersatu, pemajuan kesejahteraan umum, dan pemerataan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta partisipasi Indonesia dalam menciptakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Deklarasi Djoeanda adalah instrumen pelaksanaan amanah konstitusi dalam negara kepulauan bercirikan Nusantara ini.
Amanah konstitusi itu hanya mungkin dilaksanakan jika pemerintah bisa menghadirkan diri secara efektif di laut, terutama dalam rangka menjamin keamanan dan kelancaran pergerakan barang-barang dan juga manusia di dalam negara kepulauan yang bentang alamnya seluas Eropa ini. Namun kepentingan maritim Republik ini tidak berhenti di wilayah domestiknya saja. Republik ini memiliki tugas internasional untuk memastikan dunia yang lebih tertib dan damai. Tantangan ini terletak di laut bebas di mana perdagangan sebagai instrumen mensejahterakan ummat manusia mensyaratkan angkutan laut yang aman, efisien dan bisa diandalkan.
Menjadi negara maritim adalah geostrategic default bagi Indonesia. Kehadiran secara efektif di laut dalam negara Republik Indonesia merupakan modal pertama sebelum Republik ini mampu menjalankan tugas-tugas internasionalnya. Kehadiran efektif di laut itu tidak cuma mensyaratkan kecukupan armada niaga dan perikanan dalam jenis dan jumlahnya, serta kapal-kapal negara dan kapal-kapal perang, tapi juga membutuhkan kesatuan pemerintahan di laut dengan satu tanggungjawab.
Hingga hari ini, sejak UNCLOS menerima Deklarasi Djoeanda 1982, kita belum berhasil membangun pemerintahan di laut yang mampu mengemban amanah konstitusi itu sekaligus mengambil peran penting dalam dinamika internasional. Akibatnya, perkembangan kemaritiman nasional kita mengalami hambatan yang serius. Karena obsesi pada ekspor komoditas sejak sawit hingga batubara, sektor kemaritiman sebagai pendukung utama perdagangan boleh dikatakan tidak memperoleh prioritas utama. Jenis dan jumlah armada niaga, perikanan, dan kapal-kapal negara serta KRI kita jauh dari memadai. Industri maritim sebagai ujung tombak negara maritim tidak berkembang. Bahkan sejak reformasi, yang terjadi justru deindustrialusasi. Pada saat galangan kapal nasional tertatih-tatih memproduksi kapal-kapal hasil rancangbangun para insinyur bangsa sendiri, sampai hari ini kita terus dibanjiri mobil dan motor merk asing. Kita masih juga belum memiliki motor apalagi mobil nasional.
Saat ini tata kelola pemerintahan di laut kita masih carut marut. Memang banyak kementrian dan lembaga negara hadir di laut tapi tidak ada satu pemerintahan di laut. Akibatnya, kemaritiman menjadi sektor dengan konflik kepentingan yang tinggi, ekonomi biaya tinggi dan penuh ketidakpastian bisnis. Banyak operator pelayaran yg tidak mampu membeli armada-armada baru. Tidak ada insentif bagi pengadaan armada baru bagi galangan kapal nasional, sementara industri otomotif asing justru memperoleh perlakuan yang istimewa.
Jika secara ke dalam kemaritiman kita masih terbelakang seperti saat ini, maka masa depan negara kepualauan ini akan sesuram kemaritimannya. Dalam situasi dinamika regional di Asia saat ini, di mana China bangkit sebagai raksasa baru dengan ambisi imperial tertentu, maka negara maritim Indonesia adalah pilihan yang tidak terelakkan. Jika abad 21 ini adalah abad Asia, maka kita perlu segera melakukan inovasi kelembagaan yang mampu secara efektif memerintah di laut Nusantara dengan satu tanggungjawab sesuai dengan hukum Internasional yang berlaku. Kepentingan sektor dari berbagai kementrian dan lembaga di laut kita harus dinomorduakan. Untuk membangun Indonesia Sea and Coast Guard mungkin membutuhkan waktu 5-10 tahun ke depan. Namun dengan visi yang jelas serta komitmen yang kuat, Garuda tidak saja akan mampu menjinakkan Naga, tapi juga Beruang dan Gajah.