Tag Archives: Dampak negatif

REKLAMASI TELUK JAKARTA, RIWAYATMU KINI

DAMPAK EKOLOGI, SOSIAL, EKONOMI

Ilham Kurniawan, Napoleon Bonaparte Nakiva, Ikla Shafy (Teknik Kelautan FTK ITS)

Reklamasi adalah sebuah rekayasa lingkungan dengan cara menimbun suatu wilayah dengan material timbunan dengan luasan tertentu, pada dasarnya pelaksanaan reklamasi ini tentu memiliki dasar kepentingan tertentu sebelum diadakannya pelaksanaan pembangunan.

Pelaksanaan reklamasi sering mendapat pro dan kontra dari beberapa pihak, ada pihak yang mendukung reklamasi dengan alasan untuk pertumbuhan ekonomi dan sektor pariwisata, dan ada pihak lain yang menolak keras dengan alasan keselamatan lingkungan hidup.

Salah satu reklamasi yang mendapat perhatian masyarakat Indonesia adalah proyek Reklamasi Teluk Jakarta.

Kronologis Reklamasi Teluk Jakarta

Rencana reklamasi di Teluk Jakarta sudah ada sejak zaman orde baru, melalui Keputusan Presiden Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995.

Perjalanan proyek ini tidak berjalan mulus, luas wilayah yang akan direklamasi sekitar 2.700 hektar. Metode reklamasi yang digunakan adalah pengerukan sehingga lokasi reklamasi akan lebih tinggi daripada permukaan air, untuk pengerukannya membutuhkan 330 juta m3 bahan urukan termasuk pasir.

Reklamasi di Teluk Jakarta yang bertujuan untuk mengendalikan banjir di Jakarta dan sebagai area pengembangan bisnis di Jakarta, dilaksanakan dengan membangun tanggul raksasa (Jakarta Giant Sea Wall/JGSW) sepanjang 60 km di Teluk Jakarta dan pembangunan 17 pulau buatan di depan pantai. Kini melalui proses yang berliku telah terbangun 4 pulau, yaitu Pulau C, D, G dan N.

Izin pembangunan pulau reklamasi lainnya di Teluk Jakarta selanjutnya diverifikasi oleh Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dibentuk melalui Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2018.

Hasil verifikasi badan tersebut menunjukkan, para pengembang yang mengantongi izin reklamasi tidak melaksanakan kewajiban mereka. Ke-13 pulau tersebut yakni Pulau A, B, dan E (pemegang izin PT Kapuk Naga Indah); Pulau I, J, dan K (pemegang izin PT Pembangunan Jaya Ancol); Pulau M (pemegang izin PT Manggala Krida Yudha); Pulau O dan F (pemegang izin PT Jakarta Propertindo); Pulau P dan Q (pemegang izin PT KEK Marunda Jakarta); Pulau H (pemegang izin PT Taman Harapan Indah); dan Pulau I (pemegang izin PT Jaladri Kartika Paksi).

Selanjutnya ke-4 pulau yang telah tereklamasi, yakni Pulau C dan D (pemegang izin PT Kapuk Naga Indah), Pulau G (pemegang izin PT Muara Wisesa Samudra), dan Pulau N (pemegang izin PT Pelindo II) tetap dilanjutkan pembangunan sesuai peruntukannya. Dan Pemprov DKI Jakarta menugaskan PT Jakarta Propertindo untuk mengelola 3 pulau, yakni Pulau C, Pulau D, dan Pulau G, selama sepuluh tahun. Penugasan itu tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 120 Tahun 2018.

Selanjutnya Pemprov DKI Jakarta mengubah nama ke-3 pulau ini. Pulau C, D, dan G diganti menjadi Kawasan Pantai Kita, Kawasan Pantai Maju, dan Kawasan Pantai Bersama.

Desain Pulau Reklamasi Teluk Jakarta

Dampak Positif

Dengan dilanjutkannya proyek pembangunan ke-4 pulau hasil reklamasi, diharapkan memberikan dampak positif.

Pertama, membuka lapangan pekerjaan baru karena adanya pembangunan properti sehingga kebutuhan akan lapangan kerja untuk konstruksi juga akan terbuka, selain itu juga terbuka peluang bidang usaha baru, seperti restoran, hiburan, dan wisata.

Kedua, dapat mengantisipasi pasang surut air laut menjadikannya bendungan untuk menahan kenaikan air laut/banjir rob, dapat memecah gelombang, dan mengurangi risiko abrasi. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagian besar pantai utara Jakarta adalah kawasan yang setiap tahun selalu rawan banjir rob, akibat pasang air laut yang selalu naik ke daratan.

Ketiga, memberikan akses tempat tinggal, tempat usaha dan tempat fasilitas publik lainnya bagi penduduk Jakarta. Hal ini didukung Pemprov DKI Jakarta yang menugaskan PT Jakpro untuk mengelola lahan kontribusi hasil reklamasi untuk pembangunan prasarana publik. Prasarana yang dimaksud antara lain rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah, pasar tematik ikan, restoran ikan, tempat ibadah, kantor pemerintah, dan dermaga. Selain itu, pantai reklamasi juga bakal menjadi pantai pertama di Jakarta yang benar-benar gratis untuk publik.

Dampak negatif

Selain memberikan manfaat, dampak negatif yang mungkin timbul perlu dikelola dengan baik, misalnya tata kelola air, tata kelola sampah, dan ekosistem laut.

Timbulan sampah baik dari industri, restoran, dan rumah tangga dari kawasan pulau buatan tersebut tentunya akan membutuhkan lahan baru dalam pengelolaan sampah, dimana saat ini saja lahan untuk pengelolaan/TPA sampah Jakarta sudah tidak ada, dan menggunakan daerah penyangga Jakarta, misalnya Bekasi, Bogor, dan Tangerang. Ini juga membuat tantangan baru terkait pengelolaan sampah rumah tangga, termasuk juga limbah domestik rumah tangga agar tidak mencemari lingkungan laut sekitarnya, karena jika langsung terbuang ke saluran umum akan langsung mencemari laut

Sistem tata kelola air di wilayah pesisir, dimanq ada 13 sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta nantinya akan bertambah panjang 1,5 kilometer, tetapi dasar sungai menjadi sangat landai hingga ketinggian muara baru hasil reklamasi menjadi nol meter sehingga air sungai sulit mengalir ke laut dengan rendahnya muara sungai, dan tentunya akan berdampak pada banjir rob disepanjang bantaran sungai dan pesisir.

Selain itu hilang/berkurang nya ekosistem bagi biota laut karena wilayah perairan Teluk Jakarta merupakan tipe ekosistem komplek yang di dalamnya terdapat hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuari, sehingga berdampak pada hasil tangkapan nelayan sekitar, bahkan dikhawatirkan akan hilangnya mata pencaharian sebagian besar nelayan, karena selain berkurang nya hasil tangkapan, mungkin juga beralih profesi menjadi tenaga kerja di tempat-tempat usaha baru di pulau buatan ini.

Kemungkinan terjadinya dampak lanjutan adalah terjadi sedimentasi dan pengendapan sedimen ke dasar perairan yang dapat merubah dasar perairan dan membahayakan alur pelayaran, pelabuhan dan beberapa objek vital lainnya, misalnya Pelabuhan Sunda Kelapa, Pelabuhan Tanjung Priok, dan PLTGU Muara Karang. Selain karena ancaman sedimentasi sehingga mempengaruhi area labuh dan keluar masuk kapal, diprediksi akibat reklamasi dapat menaikkan suhu air laut 1-2 derajat.

Mitigasi Dampak Negatif

Untuk memperbaiki ekosistem yang hilang/rusak perlu menambah/membangun ekosistem baru, misalnya melakukan rehabilitasi ekosistem mangrove di bagian timur Teluk Jakarta yaitu di sekitar Muara Gembong hingga Tanjung Karawang untuk menjaga fungsinya sebagai daerah asuhan ikan dan udang, serta di bagian barat di pesisir Tangerang.

Untuk tata kelola air, diperlukan waduk/embung serta pompanisasi untuk pengendalian banjir rob yang mungkin terjadi.

Untuk pengelolaan sampah dan limbah domestik, diperlukan sistem pengelolaan limbah terpadu dan terintegrasi di setiap lulau, agar tidak terbuang ke badan air dan mencemari laut.

Untuk tatakelo sampah sebaiknya didaur ulang di dalam pulau, bahkan dapat dialokasikan lahan dan teknologi untuk pembangunan PLTS (pembangkit listrik tenaga sampah).

REKLAMASI TELUK BENOA: KENAPA DITOLAK MASYARAKAT BALI?

AKMAL Lutfitansyah, Matthew ABEL Emanuel, Farel NOVAL Jamaluddin, Bryan Kevina CANDRA (Mahasiswa Program Sarjana Teknik Kelautan FTK ITS)

Provinsi Bali merupakan provinsi yang paling banyak didatangi wisatawan baik wisatawan nasional maupun internasional karena pariwisata di Bali adalah pariwisata adat budaya yang mempunyai daya tarik tersendiri yang berbeda dari daerah lain di Indonesia. Di samping pesona alam pegunungan dan pesisir yang indah menjadi daya tarik wisatawan. Dari pariwisata ini dapat meningkatkan pendapatan dari devisa pemerintah dan negara.

Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 sangat kecil dibandingkan dengan Provinsi Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Kebutuhan akan lahan pertanahan untuk pariwisata di Bali inilah yang memunculkan ide reklamasi di selatan Bali.

Pada tahun 2011 pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan (RTRW) Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita). Perpres ini disambut baik oleh masyarakat Bali dan lembaga swadaya lingkungan hidup di Bali karena dapat menjadi kebijakan sebagai pengawasan dan pengendalian terhadap pembangunan bertendensi bisnis dari investor dalam maupun luar negeri juga melindungi kawasan konservasi di Bali.

Selanjutnya pro-kontra bermula dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Perpres No 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita, yang mengubah status konservasi Teluk Benoa menjadi kawasan pemanfaatan umum.

Pasca penerbitan Perpres 51 tahun 2014, PT. Tirta Wahana Bali International (PT. TWBI) sebagai pengembang kawasan Teluk Benoa juga telah mengajukan surat izin lokasi reklamasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan di kawasan perairan Teluk Benoa yang meliputi Kabupaten Badung dan Kota Denpasar Provinsi Bali seluas 700 hektar.

Rencana reklamasi ini dikemudian hari menimbulkan gejolak sosial, dimana banyak masyarakat Bali yang menolak terhadap kegiatan reklamasi tersebut. Bertahun-tahun pihak yang kontra reklamasi ini berjuang dengan melakukan upaya baik secara formal maupun informal melaui media maupun unjuk rasa untuk menolak reklamasi Telok Benoa Bali.

PRO-KONTRA

Rencana reklamasi Teluk Benoa Bali ada 2 pihak yang pro dan kontra. Pihak pro reklamasi melihat bahwa reklamasi akan mendatangkan profit ekonomi yang tinggi dan jaminan kesejahteraan, masyarakat Bali, karena terbukanya lapangan pekerjaan baru, juga adanya jaminan pengelolaan dampak lingkungan yang baik. Sedangkan pihak yang kontra karena kekhawatiran akan rusaknya kelestarian alam Teluk Benoa.

Pihak yang menolak rencana reklamasi berpendapat bahwa kawasan yang akan direklamasi adalah kawasan konservasi untuk pelestarian ekosistem. Apabila kawasan konservasi direklamasi berarti melanggar peraturan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan). Selain itu selama ini kawasan Teluk Benoa adalah Kawasan Suci yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara adat umat Hindhu di Bali yang tidak boleh dimanfatkan untuk kepentingan bisnis apalagi direklamasi pantainya (Note: karena alasan inilah dikemudian hari/saat ini Telok Benoa ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Maritim/KKM, melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 46/KEPMEN-KP/2019).

Kawasan Teluk Benoa merupakan daerah pengendapan sedimen liat dan pasir yang produktif, hal terlihat setelah adanya reklamasi Pulau Serangan, dimana sedimentasi tanah liat terakumulasi pada beberapa tempat yaitu di bagian timur dan selatan. Sedangkan sedimentasi pasir terakumulasi di sebelah barat kawasan Teluk Benoa . Oleh karena itu, kawasan perairan Teluk Benoa merupakan salah satu daerah pesisir yang sangat rawan terkena pendangkalan akibat sedimentasi yang tinggi yang berakibat kepada kerusakan ekosistem pesisir seperti terumbu karang, mangrove dan lamun. Dan terlebih lagi saat ini dengan telah dibangunnya jalan tol Sanur-Bandara yang melintas di Teluk Benoa.

Karena itu kelompok yang kontra reklamasi, memulai gerakan perlawanan, yang paling diingat publik adalah yang menamakan ForBali. ForBali melibatkan banyak elemen -elemen yang ada di Bali antara nya LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat ), kelompok nelayan, warga desa adat, komunitas, mahasiswa dan akademisi hingga para seniman asli Bali.

Alasan gerakan kontra reklamasi ini menilai banyak dampak negatifnya, diantaranya reklamasi akan merusak fungsi dan nilai konservasi kawasan perairan Teluk Benoa sebagai reservoir dari 5 daerah aliran sungai besar di Bali, Mengancam ekosistem mangrove sebagai pelindung abrasi pantai selatan Bali dan tempat nelayan mencari ikan, serta dapat memperparah abrasi pantai disisi pantai selatan Bali lainnya, contohnya Nusa Dua, Sanur, dan Gianyar.

Selain itu dikhawatirkan dengan dibangunnya pulau hasil reklamasi untuk kawasan bisnis dan perhotelan, dapat merusak citra pariwisata Bali yang terkenal dengan alam yang indah dan budaya dan spiritualitasnya.

MITIGASI DAN KOMUNIKASI

Mencermati histori penolakan reklamasi Teluk Benoa diatas, apakah sebenarnya reklamasi itu menakutkan?

Secara teoritis dan teknis reklamasi yang dilaksanakan dengan mengikuti prinsip-prinsip reklamasi yang berkelanjutan, dapat managable (dapat dikelola dampaknya), tentunya juga dengan komunikasi dan koordinasi sejak dari awal perencanaan, dan peruntukan lahan reklamasi tersebut dari segenap lembaga masyarakat, tidak serta merta keinginan dari investor saja.

Siteplan dan peruntukan reklamasi yang sebelumnya telah dipaparkan dan ditolak dapat berubah secara drastis dengan mempertimbangkan adat budaya masyarakat Bali dan prioritas konservasi/reservoar Teluk Benoa. Sehingga tujuan dari reklamasi untuk memajukan suatu wilayah dan tetap tidak mengesampingkan kelestarian lingkungan bisa tercapai, sehingga manfaat reklamasi akan dirasakan bagi masyarakat Bali, baik itu di sektor ekonomi, pariwisata, budaya ataupun kelestarian lingkungan.

POSITIF NEGATIF REKLAMASI PANTAI TAPAKTUAN, KABUPATEN ACEH SELATAN

Adira Fitria PUTRI, Dwi Prawira KUSUMA, Luthfan Taufiqul HAFIZH (Mahasiswa Program Sarjana Teknik Kelautan FTK ITS)

Setiap kali muncul kabar tentang reklamasi, respon masyarakat hampir seragam menolak dan cenderung negatif. Sebenarnya apa itu reklamasi? Bagaimana dampak reklamasi bagi lingkungan dan penduduk sekitar?

Reklamasi sendiri adalah suatu metode yang digunakan untuk menciptakan lahan di kawasan perairan, umumnya di daerah pesisir pantai. Reklamasi ini dilakukan dengan menimbun pasir atau tanah ke pesisir pantai sehingga dapat menciptakan lahan baru yang berada di atas permukaan air laut sehingga tidak terendam air (Imawan, 2021).

Reklamasi sendiri bukanlah hal yang baru di Indonesia. Di Indonesia sudah terdapat 197 situs reklamasi yang selesai dibangun, tersebar dari Aceh hingga Papua. Sekarang muncul pertanyaan baru, jika reklamasi ternyata sudah sebanyak itu di Indonesia, jadi sebenarnya reklamasi itu bagus atau buruk?

Reklamasi memiliki banyak tujuan untuk dilakukan, baik digunakan sebagai kepentingan masyarakat umum hingga kepentingan bisnis korporat. Pada umumnya reklamasi dilakukan dengan mempertimbangkan segala macam aspek yang ada di lokasi, termasuk aspek lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat. Seharusnya, dengan adanya pertimbangan tersebut, reklamasi tidak akan memberikan dampak negatif terhadap masyarakat yang tinggal di dekat situs reklamasi.
Lalu bagaimana realisasi pertimbangan tersebut?

Bagaimana sebenarnya dampak nyata dari adanya reklamasi terhadap lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat sekitar? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, di sini kita akan mengambil contoh salah satu kasus reklamasi yang ada di Sumatra, lebih tepatnya di Kecamatan Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan.


Di Kecamatan Tapaktuan, yang merupakan ibukota dari Kabupaten Aceh Selatan, telah dilakukan reklamasi sejak tahun 2002 hingga sekarang. Total sudah terdapat beberapa situs reklamasi yang dibangun untuk nantinya digunakan sebagai daerah pemukiman penduduk, perkantoran, pertokoan, pelabuhan umum, taman kota, dan sarana sosial lainnya. Pemerintah daerah setempat memutuskan untuk melakukan reklamasi karena Kecamatan Tapaktuan ini dikelilingi oleh pegunungan yang akan sulit untuk melakukan perluasan lahan ke arah daratan.

Salah satu situs reklamasi yang terkenal di Kecamatan Tapaktuan adalah situs reklamasi RTH Pantai Taman Pala Indah dan Masjid Terapung An-Nur. Tanah reklamasi seluas 4,13 hektar tersebut terletak tidak jauh dari Pelabuhan Tapaktuan.

Kembali ke pertanyaan sebelumnya, apa dampak dari adanya reklamasi pantai tersebut terhadap lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat sekitar? Telah dilakukan penelitian oleh mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh yang menunjukkan bahwasanya reklamasi pantai memang benar memiliki dampak terhadap perubahan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat Kecamatan Tapaktuan (Husna, Alibasyah, & Indra, 2012).

NEGATIF

Dalam penelitian tersebut, disebutkan bahwasanya terjadi pengurangan biota laut di area sekitar situs reklamasi yang mengharuskan masyarakat untuk mencari ikan lebih jauh ke lautan. Beberapa biota laut tersebut antara lain adalah kepiting dan ikan karang, termasuk terumbu karang itu sendiri. Untuk kepiting dan ikan di sekitar area pesisir sebelum adanya reklamasi nelayan umumnya bisa menangkap lebih dari 7,5 kg akan tetapi setelah adanya reklamasi menurun hingga kurang dari 2,5 kg. Sementara terumbu karang yang awalnya luasnya mencapai lebih dari 2 hektar, kini berkurang hingga menjadi kurang dari 1 hektar.

Meskipun begitu, perubahan yang berbeda terjadi pada biota darat seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan darat lainnya yang malah mengalami peningkatan jumlah setelah dilakukannya reklamasi. Jumlah kupu-kupu dan burung kutilang mengalami peningkatan. Penduduk sekitar melaporkan bahwa sebelum adanya reklamasi, dalam sehari penduduk mendapati hanya ada 1-3 ekor burung yang terlihat. Sementara setelah adanya reklamasi, dalam sehari ada lebih dari 5 burung yang terlihat.

Selain hewan, terjadi perubahan terhadap jumlah vegetasi di darat di area sekitar reklamasi. Sebelum adanya reklamasi, jumlah pohon kelapa disebutkan banyak, sekitar lebih dari 10 pohon, akan tetapi setelah adanya reklamasi menurun hingga hanya berkisar antara 1-5 pohon saja. Sementara tumbuhan lainnya seperti rumput dan tanaman liar yang awalnya sedikit sebelum reklamasi dengan luasan kurang dari 400 m persegi, kini bertambah banyak setelah adanya reklamasi hingga mencapai 2 hektar-an.

POSITIF

Sosial dan ekonomi masyarakat sekitar juga turut berubah dampak dari adanya reklamasi. Beberapa aspek seperti jaminan rasa aman, kesempatan kerja, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan, tingkat informasi, hingga kunjungan masyarakat luar daerah meningkat banyak dibandingkan sebelum adanya reklamasi. Kondisi peningkatan tingkat kesehatan masyarakat ini menunjukkan bahwasanya reklamasi tidak memiliki dampak negatif terhadap kualitas air. Selain itu profesi masyarakat juga banyak yang bergeser menjadi nelayan setelah dilakukannya reklamasi.

Pendapatan masyarakat mengalami penaikan yang signifikan dari sebelum ke sesudah reklamasi. Sebelum reklamasi, pendapatan rata-rata masyarakat berkisar antara Rp 1,4 juta per bulan, akan tetapi setelah adanya reklamasi, pendapatan meningkat menjadi Rp 2,1 juta atau meningkat hampir 50%-an.

Reklamasi ini juga menjadi salah satu icon dari Kecamatan Tapaktuan yang kini berubah menjadi daerah pariwisata. Dengan adanya reklamasi artifisial yang dipadu dengan keindahan alam natural dari pegunungan dan pantai di sekitar, membuat banyak wisatawan yang tertarik untuk datang ke Kecamatan Tapaktuan. Secara statistik, kunjungan wisatawan luar daerah ke Kecamatan Tapaktuan meningkat lebih dari 20% dibandingkan sebelum adanya reklamasi pantai.

MITIGASIt

Selah membicarakan panjang lebar studi kasus reklamasi di Kecamatan Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan, kembali ke pertanyaan semula, lantas apakah reklamasi itu baik atau buruk? Reklamasi memiliki dampak yang berbagai macam kepada lingkungan dan masyarakat. Akan ada sisi positif dan sisi negatif dari adanya reklamasi. Hanya saja bagaimana pertimbangan dan perhitungan agar sisi positif tersebut jauh lebih banyak dibandingkan sisi negatifnya.

Salah satu pekerjaan rumah yang perlu ditindaklanjuti juga adalah terkait perubahan bentang alam disekitar lokasi reklamasi, misalnya abrasi atau sedimentasi karena perubahan arus dari adanya reklamasi ini.

Beberapa faktor yang bersifat teknis ini masih perlu untuk dilakukan studi lebih lanjut sehingga tidak dicantumkan dalam artikel ini (Anugrah, 2015).

Agar sesuai harapan bahwa reklamasi dapat memberikan dampak positif yang lebih besar, dampak negatifnya dapat dikelola dengan baik.