EKOWISATA PULAU MAITARA MALUKU UTARA

Haarits Rayhan, Muhammad Anugerah Pragnyono, Dion Presetyo Sondakh, Selly Nurul Hikmayanti, Nurul Karunia (Teknik Kelautan FTK ITS)

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri pariwisata. Industri pariwisata di dunia serta khususnya Indonesia secara keseluruhan telah berkembang pesat. Perkembangan industri tidak hanya berdampak pada peningkatan pendapatan devisa negara, tetapi juga memperluas peluang usaha untuk mengatasi pengangguran lokal dan menciptakan lapangan kerja baru di masyarakat.

Sektor pariwisata juga merupakan salah satu dari tiga penghasil devisa terbesar di provinsi Indonesia. Kebijakan kepariwisataan itu sendiri sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Pulau Maitara

Kota Tidore merupakan wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Utara adalah salah satu kabupaten kepulauan, dengan potensi alam yang yang dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata bahari.

Salah satu daerah wisata tersebut, adalah Pulau Maitara yang sudah terkenal, dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata dengan mengedepankan tatanan budaya di daerah Maluku Utara sehingga memberikan dampak yang minimal terhadap pergeseran nilai-nilai budaya, defleksi serta perilaku masyarakat di wilayah Pulau Maitara. Tentu saja sejak dari perencanaan harus membuka kesempatan dan keterlibatan dari warga dalam mengembangkan kawasan tersebut.

Pulau Maitara terletak di antara Pulau Tidore dan selatan Pulau Ternate, atau lebih tepatnya berada di Kota Tidore Kepulauan (Tikep) yang secara administrasi masuk kedalam Kecamatan Tidore Utara Kota Tidore Kepulauan Propinsi Maluku Utara. Pulau Maitara merupakan pulau kecil yang berpenduduk.

Daya Tarik Wisata Pulau Maitara

Dari segi potensi alam yang dimiliki, Pulau Maitara memiliki beberapa bentang alam yang menarik dan layak dikunjungi, antara lain pegunungan, pantai, hutan, udara, dan kekayaan laut. Secara fisik, Pulau Maitara didominasi oleh kawasan perbukitan dan pegunungan yang berfungsi sebagai hutan lindung. Keberadaan gunung ini memiliki keindahan yang jika dilihat dari luar pulau Maitara, wisatawan tertarik untuk mendekat dan mengunjungi pulau tersebut. Pegunungan di Pulau Maitara juga memiliki lereng yang landai dan curam. Lereng gunung pulau Maitara yang landai menarik wisatawan untuk panjat tebing karena relatif mudah dilalui oleh pendaki.

Bentang alam pesisir memiliki ekosistem mangrove yang menarik. Kondisi pantai yang landai dan ombak air yang relatif tenang membuat suasana pantai sangat bersahabat bagi wisatawan. Keunikan pantai Maitara adalah pasir putihnya yang berbeda dengan jenis pasir pantai di bagian pantai Tidore lainnya.

Kekayaan bawah laut Pulau Maitara mengandung ekosistem terumbu karang yang cocok untuk dikunjungi melalui kegiatan wisata diving dan snorkeling.

Sedangkan dari segi potensi budaya, Keanekaragaman suku dan cara hidup sosial merupakan kombinasi unik dari kehidupan masyarakat dan berbagai keunikan budayanya karena pulau maitara terdiri dari keturunan suku Tidore, Makian, dan Bugis.

Paulau Maitara juga memiliki beberapa kesenian yang menarik, dan Tari Soya Soya merupakan tarian yang istimewa dan istimewa yang menghibur para tamu. Kesenian ini sangat mendukung pengembangan pariwisata ramah wisatawan. Seni acara Tariqa dan Badabas juga dapat ditemukan di pulau Maitara.

Untuk potensi wisata unggulan pulau maitara sendiri, terdapat tiga tempat yang wajib dikunjungi yaitu, wisata tugu uang seribu, wisata pantai ake bai, dan wisata hutan mangrove maitara.

Pemberdayaan Masyarakat

Upaya pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktifitas dan perekonomian masyarakat Pulau Maitara sehubungan dengan pengelolaan ekowisata antara lain, pertama dengan meningkatkan solidaritas dan aksi kolektif masyarakat Pulau Maitara. Pemberdayaan melalui pengembangan aksi kolektif yang merupakan suatu aksi bersama yang bermuara pada kesejahteraan setiap anggota secara individu. Untuk pengelolaan wilayah ekowisata harus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat sehingga tingkat kesejahteraan dapat dicapai.

Kedua, pendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya guna. Upaya meningkatkan pendapatan dilakukan melalui perbaikan teknologi, mulai dari teknologi produksi hingga pasca produksi dan pemasaran. Dengan peran teknologi pengelolaan pariwisata dapat dilakukan dengan maksimal.

Ketiga, mendekatkan Masyarakat dengan pasar
Pengembangan ekowisata perlu diimbangi juga dengan promosi pada khalayak ramai. Dengan ekowisata yang dikenal banyak orang dan terus berkembang akan memberikan feedback positif untuk masyarakat Pulau Maitara.

Keempat, mendekatkan Masyarakat dengan sumber modal. Hal penting yang harus dilakukan adalah memastikan modal dalam pengembangan ekowisata dapat dianggarkan. Perlu adanya koordinasi dengan pemerintah untuk modal awal. Yang nantinya juga akan berdampak pada perkembangan pariwisata Indonesia.


Konsep ICZM dalam pengembangan Ekowisata Pulau Maitara

Pengelolaan wilayah pulau Maitara sebagai Kawasan ekowisata merupakan suatu komponen yang harus dilakukan guna menunjang pembangunan di Indonesia. Sehingga perlu dilakukan perencanaan yang matang. Untuk wilayah pesisir metode yang dapat digunakan yaitu ICZM yang merupakan suatu pendekatan yang komprehensif yang dikenal dalam pengelolaan wilayah pesisir, berupa kebijakan yang terdiri dari kerangka kelembagaan dan kewenangan hukum yang diperlukan dalam pembangunan dan perencanaan pengelolaan untuk kawasan pesisir yang terpadu dengan tujuan lingkungan hidup dan melibatkan seluruh sektor yang terkait.

Pemberdayaan masyarakat secara khusus dan eksistensi masyarakat secara umum perlu diinternalisasikan dalam pengembangan, perencanaan, serta pelaksanaan pengelolaan sumber daya pesisir secara terpadu. Faktor kemitraan antara seluruh stakeholder dalam proses perencanaan hingga evaluasi harus ditumbuhkembangkan. Komponen-komponen yang terlibat dalam kemitraan pengeloaan pesisir, antara lain adalah masyarakat lokal, perintah (pusat dan daerah), LSM, media massa, swasta, donor, organisasi internasional, masyarakat ilmuwan. Beberapa aspek yang berkenan dengan masyarakat adalah kekuatan penentu (driving forces) status dan eksistensi suatu kawasan pesisir.

KAMPUNG LAUT BONTANG KUALA MENUJU SMART MARINE ECO TOURISM

Elang Setia Pratama, Dedy Rizaldy, Adiwira Surya Susanto, Tyas Naufal Hilmy (Teknik Kelautan FTK ITS)

Indonesia merupakan negara dengan potensi dan sumber daya alam laut yang melimpah, di mana luas wilayah perairannya mencapai 3,257 juta km2 sesuai dengan yang tertera pada United Nation on the Law of the Sea ( UNCLOS ). Potensi perairan yang besar ini dapat mendukung program Blue Economy, sebuah program yang dicanangkan oleh World Bank untuk mendukung pemanfaatan sumber daya alam laut di berbagai sektor, seperti pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pekerjaan dengan tetap memperhatikan kesinambungan dan menjaga keasrian ekosistem laut.

Blue Economy

Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ( Bappenas ), Indonesia sendiri sudah menyiapkan rancangan pengembangan ekonomi di daerah- daerah pesisir yang sesuai dengan prinsip Blue Economy. Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi pemanfaatan perairan yang besar sehingga dapat mendukung tujuan Blue Economy adalah Kampung Laut Bontang Kuala. Daerah ini terletak di wilayah timur Kota Bontang dan berada di pesisir barat perairan Selat Makassar. Dengan jumlah penduduk sebanyak 4.823 jiwa dan luas wilayah sebesar 585 Ha, Kampung Laut Bontang Kuala menyimpan dan menyajikan keindahan alam berupa hamparan laut dan ombak yang luas, serta menjadi tujuan wisata lokal maupun mancanegara. Tidak hanya itu, daerah ini juga dijadikan sebagai tempat konservasi mangrove dan tumbuhan laut lainnya.

Kampung Laut Bontang berpotensi dikembangkan menjadi Marine Eco Tourism dan dilengkapi dengan teknologi penghasil energi bertenaga ombak dan arus laut sehingga pemanfaatan dan pengembangan daerahnya sesuai dengan prinsip Blue Economy, yaitu pemanfaatan sumber daya alam perairan yang berkesinambungan.

Wisata Bahari Kampung Laut Bontang Kuala

Kampung Laut Bontang Kuala merupakan kawasan wisata bahari dengan berbagai fasilitas yang menunjang turis lokal maupun mancanegara untuk menikmati keindahan perkampungan di atas laut yang juga pemandangan ombak laut itu sendiri. Tempat wisata ini memiliki komoditas unggulan di bidang perikanan, seperti udang, kepiting, ikan kerapu, dan perikanan lainnya. Hasil dari perikanan yang ditangkap oleh nelayan setempat dapat langsung diperjual belikan dan diolah langsung untuk diminati oleh turis sehingga memberikan pengalaman menikmatin sajian laut yang segar dan langsung dari nelayannya.

Selain itu, Kampung Laut Bontang Kuala juga menyajikan keindahan alam lainnya seperti hutan mangrove dan terumbu karang yang berada di sekitar kawasan Kampung Laut Bontang Kuala. Turis dapat menikmati pemandangan laut dan hamparan hutan mangrove serta terumbu karang yang luas.

Pemandangan laut Kampung Laut Bontang Kuala


Ritual Adat Pesta Laut Mencera Buluh

Kampung Laut Bontang Kuala juga menawarkan pengalaman menyaksikan kehidupan khas nelayan suku Bugis dengan berbagai tradisi dan budaya yang masih kental. Pengunjung dapat menikmati perayaan pesta laut yang diadakan tiap akhir tahun oleh nelayan lokal. Pesta laut ini merupakan pesta adat yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa atas hasil yang didapatkan saat melaut. Pesta Laut ini rutin diselenggarakan di pertengahan bulan November hingga Desember dengan berbagai susunan acara dan ritual adat.

Salah satu yang terkenal adalah ritual adat Mencera Buluh atau diartikan dalam bahasa Indonesia adalah menjamu kampung. Tujuan ritual adat ini adalah untuk memberitahu dan menghormati roh penjaga perairan kampung Bontang Kuala dengan meletakkan darah ayam kampung dan pembuatan singgasana dari rotan dan janur kuning yang diikat dan dianyam. Selanjutnya adalah Melabuh Perahu, sebuah ritual adat di mana sebuah perahu kecil dilabuhkan sambil diiringi oleh musik tradisional masyarakat sekitar, seperti gendang dan gelintangan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjauhkan penyakit dan musibah dari masyarakat Kampung Laut Bontang Kuala.

Pesta Laut ini masih kental pada masyarakat sekitar Kampung Laut Bontang Kuala dan terus dijalankan hingga saat ini sebagai bentuk upaya untuk melestarikan warisan budaya Indonesia. Turis juga dapat mengikuti kegiatan upacara yang dilakukan saat pesta laut bersama masyarakat sekitar. Terdapat juga perlombaan yang diadakan seperti balap kapal, lomba mendayung, dan panjang pinang sehingga dapat menarik perhatian turis, terutama mancanegara.

Smart Eco Tourism

Potensi yang ada pada Kampung Laut Bontang Kuala dapat disempurnakan sesuai dengan penerapan Integrated Coastal Zone Management (ICZM ) sehingga dapat mewujudkan salah satu penerapan Blue Economy, yaitu Smart Marine Eco Tourism. Penerapan ini dapat diwujudkan dengan pengimplementasian teknologi penghasil listrik dari energi laut.

Pembangkit energi terbaharukan yang optimal untuk kawasan Kampung Laut Bontang Kuala adalah Oscillating Water Column ( OCW ) dan turbin angin karena gelombang laut dan kecepatan angin yang cukup kencang di daerahnya. Implementasi kedua pembangkit listrik tersebut dapat menunjang kebutuhan listrik masyarakat sekitar dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada dan hasil energi listriknya dapat langsung disalurkan ke rumah warga. OCW dapat diletakkan di tiang pancang rumah warga dan turbin angin dapat diletakkan di daerah sekitar pesisir yang memiliki kecepatan angin yang paling kuat. Hasil energi dari OCW dapat digunakan untuk kebutuhan listrik perumahan warga dan hasil listrik dari turbin angin dapat digunakan untuk menyalakan lampu jalan dan fasilitas umum.

BELAJAR REKLAMASI DARI TERMINAL TELUK LAMONG

Adira Fitria PUTRI, Dwi Prawira KUSUMA, Luthfan Taufiqul HAFIZH (Mahasiswa Teknik Kelautan FTK ITS)


Isu reklamasi selama beberapa tahun sampai ke publik cenderung berkonotasi yang negatif, mulai dari Teluk Benoa hingga Teluk Jakarta. Reklamasi seolah-olah terdengar sebagai suatu kata yang buruk dan tidak memiliki makna yang positif.

Reklamasi sendiri didefinisikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya lahan, baik dari sudut lingkungan hingga sosial ekonomi, melalui cara pengurugan, pengeringan lahan, atau drainase. Definisi ini tentu bertentangan dengan opini masyarakat tentang reklamasi itu sendiri. Jadi, mana yang benar? Apakah reklamasi itu buruk atau baik?

Indonesia selaku negara maritim dengan ribuan pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke dan memiliki garis pantai yang panjang, menjadikannya banyak penduduk yang tinggal di daerah pesisir, dan menjadikan laut sebagai identitas sebagian besar masyarakat Indonesia.

Seiring dengan bertambahnya waktu, jumlah penduduk ikut bertambah, akan tetapi ketersediaan lahan semakin berkurang, terutama di daerah pesisir yang tidak tahu harus mengembangkan wilayah ke mana lagi. Tentu saja salah satu pilihannya adalah membuat tanah baru di laut atau yang umum disebut reklamasi, tak ketinggalan juga kota terbesar ke-2 di Indonesia, Surabaya.

Surabaya, kota yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, memaksa kota ini untuk terus berkembang dan berkembang, baik untuk memenuhi kebutuhan perumahan hingga industri. Bagi masyarakat mungkin masih bisa membangun rumah di pinggiran kota atau di kota-kota satelit seperti Sidoarjo maupun Gresik, akan tetapi bagi beberapa fasilitas yang memang harus memanfaatkan daerah-daerah tertentu untuk berkembang, hal tersebut tidak bisa dilakukan, salah satu contohnya adalah pelabuhan.

Surabaya sendiri punya beberapa pelabuhan, baik pelabuhan penumpang hingga pelabuhan peti kemas, seperti Dermaga Ujung Kalimas, dan Tanjung Perak. Seiring berjalannya waktu, arus lalu lintas kapal di pelabuhan-pelabuhan tersebut, terutama kapal logistik yang perlu bongkar muat di Tanjung Perak, terlalu padat hingga melebihi kapasitas bongkar muat pelabuhan, sehingga pemerintah perlu melakukan terobosan bagaimana meningkatkan efisiensi dan mengurai kemacetan di pelabuhan ini.

Terminal Teluk Lamong

Dan terwujudlah pembangunan pelabuhan logistik baru di daerah yang berada tidak jauh dari Tanjung Perak, yakni Terminal Teluk Lamong.
Pelabuhan yang dibangun secara bertahap sejak tahun 2010 ini, berada di muara Sungai Lamong dan merupakan pelabuhan logistik berskala internasional yang dimiliki oleh PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau yang biasa disebut Pelindo. Terminal Teluk Lamong kini telah melayani ratusan kapal petikemas tiap tahunnya. Terminal ini memiliki fungsi yang vital dalam menjaga arus logistik terutama di daerah Surabaya dan sekitarnya.

Pulau hasil reklamasi untuk Terminal Teluk Lamong (credit.Teguh Pambudi,2018)

Area pembangunan infrastruktur pelabuhan ini tentus saja dibangun dengan metode reklamasi. Terdapat hal yang menarik tentang pembangunan reklamasi yang satu ini, berbeda nasib dengan Teluk Jakarta maupun Teluk Benoa, yaitu kita jarang atau tidak mendengar kabar/isu negatif reklamasi untuk terminal Teluk Lamong ini.

Pelabuhan yang telah dibangun sejak 2010 ini tentu saja telah melalui banyak pertimbangan dan perhitungan termasuk AMDAL sebelum dilakukannya pembangunan. Dan hal ini hal yang lumrah dan merupakan prosedur yang wajib dilakukan oleh setiap pengembang sebelum membuat sebuah proyek.

Aspek Lingkungan

Untuk kasus di Terminal Teluk Lamong, setiap kegiatan yang berkaitan dengan konstruksi mulai dari pra-konstruksi hingga operasi sudah diperhitungkan matang-matang. Selain itu dari aspek lingkungan, banyak hal yang juga sudah dipertimbangkan mulai dari komponen geofisik kimia hingga transportasi. Kemudian dibuatlah beberapa daftar dampak potensial dan bagaimana pengembang akan menyelesaikannya.
Tentu saja banyak dampak negatif yang muncul dari konstruksi proyek sebesar ini. Mulai dari penurunan kinerja jalan, penurunan kualitas udara, peningkatan kebisingan hanya dari kegiatan mobilisasi material dan peralatan konstruksi hingga berkurangnya habitat burung air akibat pengoperasian terminal petikemas. Semua hal ini diperhitungkan dan dibuat bagaimana cara penyelesaiannya secara terperinci.

Salah satu contoh dari penurunan kualitas udara karena mobilisasi material dan peralatan konstruksi, misalnya, pengembang melakukan upaya pengelolaan dengan memberlakukan standar kelayakan alat berat dan transportasi sehingga dapat mengurangi polusi dari emisi kendaraan hingga membuat barrier atau penyerap polutan di sekitar lokasi kegiatan dengan penanaman pohon-pohon berdaun lebat. Setiap detil terkecilpun tidak luput dari perhitungan pengembang Terminal Teluk Lamong.

Dampak Positif

Pembangunan pelabuhan ini juga tidak hanya berkutat tentang dampak-dampak negatif. Ada pula dampak positif dengan adanya regulasi rekrutmen tenaga kerja dengan menciptakan lapangan pekerjaan baru sehingga dapat meningkatkan pendapatan penduduk.

Melalui berbagai macam cara pengembang Terminal Teluk Lamong memaksimalkan dampak positif dari adanya pembangunan pelabuhan ini baik untuk konsumen, pemerintah daerah, hingga masyarakat sekitar. Hal ini yang membuat pembangunan Terminal Teluk Lamong tidak mendapatkan porsi kontroversi sebesar yang ada di Teluk Benoa maupun di Teluk Jakarta.

Tetap ada pro-kontra

Meski demikian, bukan berarti pembangunan reklamasi ini tanpa adanya penolakan dari masyarakat sekitar. Melalui survei yang ada, khususnya di Kecamatan Benowo, Surabaya terdapat 22% masyarakat yang tidak setuju dan 13% ragu dengan adanya pengembangan pelabuhan ini.

Namun demikian, di beberapa tempat seperti di Kecamatan Asem Rowo dan Krembangan persepsi masyarakat mayoritas mendukung pengembangan pelabuhan dengan persentase 86% hingga 100%. Kebanyakan dari mereka mempertanyakan tentang keamanan dan pendapatan nelayan yang terancam menurun dengan adanya reklamasi ini.

Mengetahui persepsi masyarakat yang seperti itu, pengembang tidak diam. Pengembang merencanakan berbagai macam rencana agar masyarakat tidak mengalami penurunan pendapatan mulai dari melakukan penyuluhan kepada nelayan tentang lokasi-lokasi penangkapan ikan yang aman, memberikan kompensasi dengan nelayan sesuai kesepakatan, membantu organisasi dan kelompok nelayan untuk pengembangan organisasi, usaha hingga pengembangan SDM serta pemodalan. Bahkan pengembang juga merancang program CSR yang sesuai bagi nelayan agar memungkinkan bagi mereka untuk alih profesi atau pengembangan usaha.

Pengembang Terminal Teluk Lamong, yakni PT Pelindo, bertanggung jawab secara penuh terhadap setiap kegiatan yang mereka lakukan mulai dari perencanaan, pembangunan, hingga operasional pelabuhan. Mereka memberikan jaminan, manfaat, dan solusi bagi semua pihak yang terlibat dan terdampak dalam pengembangan pelabuhan. Mereka tidak hanya merencanakan atau beretorika saja, namun melakukan tindakan secara langsung dengan komitmen tegas sepenuhnya. Itulah kenapa tidak banyak kontroversi yang terjadi pada pembangunan reklamasi untuk pengembangan Terminal Teluk Lamong. Sudah selayaknya setiap pengembang melakukan yang sedemikian rupa agar proyek yang memang sedari awal direncanakan untuk kebaikan bersama seperti ini dapat terjalankan dengan baik dan optimal.

ICZM DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI BERKELANJUTAN DI NUSA PENIDA

Haarits Rayhan, Muhammad Anugerah Pragnyono, Dion Presetyo Sondakh, Selly Nurul Hikmayanti, Nurul Karunia (Teknik Kelautan FTK ITS)

Indonesia merupakan negara yang memiliki 16.771 pulau, dengan letak yang berbeda-beda setiap pulau ini maka akan berbeda pula kondisi alam yang ada. Selain itu Indonesia juga merupakan negara yang tergolong rawan terhadap kejadian bencana alam, hal tersebut dikarenakan letak geografis Indonesia yang berlokasi di antara dua samudera besar dan terletak di wilayah lempeng tektonik. Akibatnya Indonesia juga masuk dalam wilayah cincin api (ring of fire), yang berarti Indonesia rawan terkena gempa bumi dan dapat menimbulkan tsunami.

Dengan banyaknya pulau yang dimiliki Indonesia, maka pastinya banyak wilayah pulau dan peisisir yang dapat dimanfaatkan, namun diperlukan pengelolaan yang tepat untuk pemanfaatan wilayah pesisir ini agar tidak menjadi bencana bagi masyarakat setempat.

Salah satu wilayah yang dapat dikelola oleh pemerintah serta memiliki daya tarik yang cukup memikat pengunjung adalah Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, yang merupakan kepulauan yang berada di Selatan Bali yang memiliki banyak kekayaan alam. Kecamatan Nusa Penida memiliki tiga pulau utama yaitu Nusa Penida, Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan yang semuanya dikelilingi oleh terumbu karang tepi (fringing reef) dengan luas 1600 hektar.

Kecamatan Nusa Penida terdiri dari tiga kepulauan yaitu pulau Nusa Penida, Pulau Lembongan dan Pulau Ceningan, terdiri dari 16 Desa Dinas, Dengan Jumlah Penduduk 46,749 Jiwa (8.543 KK). Pulau Nusa Penida bisa ditempuh dari empat tempat yaitu lewat Benoa dengan menumpang Quiksilver/Balihai ditempuh +1 jam perjalanan.

Secara umum kondisi Topografi Nusa Penida tergolong landai sampai berbukit. Desa – desa pesisir di sepanjang pantai bagian utara berupa lahan datar dengan kemiringan 0 – 3 % dari ketinggian lahan 0 – 268 m dpl. Seeta semakin ke selatan kemiringan lerengnya semakin bergelombang.

Pesona Alam Nusa Penida

Di Nusa Penida terdapat 230,07 hektar hutan mangrove yang mayoritas berada di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Berdasarkan hasil survey dan identifikasi mangrove kerjasama antara TNC Indonesia Marine Program dan Balai Pengelolaan Hutan Mangrove wilayah I pada bulan Februari 2010 di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, terdapat 13 jenis mangrove dan 7 jenis tumbuhan asosiasi. Selain itu juga dijumpai 5 jenis burung air dan 25 jenis burung darat yang dijumpai di sekitar hutan mangrove.

Hutan mangrove di Nusa Lembongan

Selain itu terdapat pula Padang Lamun, Padang Lamun di Nusa Penida seluas 108 hektar. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh TNC dan Universitas Udayana dijumpai sekitar 8 jenis lamun di Nusa Penida. Mayoritas Padang Lamun tumbuh di perairan dangkal dan berasosiasi dengan budidaya rumput laut. Rumput laut merupakan salah satu andalan produksi perikanan bagi masyarakat Nusa Penida, khususnya untuk jenis euchema spinossum.

Kawasan budidaya rumput laut di area lamun pesisir Nusa Lembongan

Ekosistem lainnya adalah terumbu karang. Hasil pemetaan terumbu karang yang dilakukan oleh TNC dengan menggunakan data satelit dari sumber Damaris (Citra Satelit) dan ground truth check di 13 titik, menunjukan luas total terumbu karang Nusa Penida adalah sekitar 1.419 hektar.

Di Nusa Penida juga dijumpai ikan Mola mola (Sunfish) yang menjadi icon bawah laut Nusa Penida, bahkan pulau Bali. Ikan Mola mola ini memiliki ukuran rata-rata 2 meter dan muncul di perairan Nusa Penida sekitar bulan Juli – September untuk membersihkan dirinya dari berbagai parasit dengan bantuan ikan-ikan karang, sekaligus berjemur untuk mendapatkan sinar matahari guna menyesuaikan suhu tubuh dikarenakan berada di perairan dalam cukup lama. Terdapat beberapa lokasi “cleaning station” ikan Mola mola di perairan Nusa Penida.

Selain Ikan Mola mola, juga ditemukan 576 jenis ikan di perairan Nusa Penida dimana diantaranya spesies baru yang belum pernah dijumpai dimanapun di dunia. Antara lain, Pari, Penyu, Dugong (Duyung), Lumba-Lumba dan Paus. (Kajian Ekologi Laut secara cepat – Rapid Ecology Assesment (REA) pada tahun 2008 oleh Gerry Allen dan Mark Erdmann).

Wisata Bahari Nusa Penida

Kekayaan hayati laut Nusa Penida diatas membawa banyak manfaat bagi masyarakat terutama dari sektor pariwisata bahari, perikanan dan perlindungan pantai. Terumbu karang yang cantik, ikan pari manta dan Mola mola menjadi atraksi favorit bagi pariwisata bahari di Nusa Penida. Terumbu karang, hutan bakau dan padang lamun juga merupakan rumah, tempat berkembang-biak, mencari makan dan berlindung bagi ikan-ikan dan biota laut lainnya. Disisi lain, terumbu karang, hutan bakau dan padang lamun adalah pelindung pantai alami dari gempuran ombak sehingga pantai tidak terabrasi.

ICZM dalam pengembangan wisata bahari

Pengelolaan wilayah pulau Nusa Penida sebagai kawasan ekowisata bahari merupakan suatu komponen yang harus dilakukan guna menjaga agar kawasan tersebut dapat terjaga ekosistemnya . Sehingga perlu dilakukan perencanaan yang matang. Untuk wilayah pesisir metode yang dapat digunakan yaitu ICZM (integrated coastal zone management) yang merupakan suatu pendekatan yang komprehensif yang dikenal dalam pengelolaan wilayah pesisir, berupa kebijakan yang terdiri dari kerangka kelembagaan dan kewenangan hukum yang diperlukan dalam pembangunan dan perencanaan pengelolaan untuk kawasan pesisir yang terpadu dengan tujuan lingkungan hidup dan melibatkan seluruh sektor yang terkait.

Tujuan dari ICZM adalah untuk memaksimalkan potensi keuntungan yang diperoleh dari kawasan pesisir dan meminimalkan dampak negatif dalam pengelolaan kawasan pesisir, baik pada sumber daya alam maupun terhadap lingkungan hidup.

Salah satu upaya yang cukup efektif untuk mengatasi ancaman terhadap sumberdaya hayati laut yaitu dengan pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Dalam pengelolaan kawasa konservasi perairan ini sangat diperlukan dukungan masyarakat, termasuk integrasi hukum adat yang dipertegas oleh para tokoh masyarakat agar dapat menjadi sebuah mental block dengan harapan tidak melakukan kerusakan pada lingkungan di pesisir dan laut daerah Nusa Penida.

Kawasan Konservasi Nusa Penida

Selain itu dalam pengelolaan wilayah Nusa Penida juga mempertimbangkan risiko bencana yang kemungkinan terjadi, karwna wilayah ini dilalui Ring Of Fire.

Upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif/kerusakan yang mungkin terjadi dari bahaya yang mungkin terjadi, misalnya tsunami, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan menanam mangrove secara massive disepanjang pantai Nusa Penida. Pengaturan moratorium dan konservasi hutan mangrove sangat berguna sebagai mitigasi bencana, karena mangrove akan mampu mengurangi dampak terjangan tsunami ke daratan dan pemukiman penduduk, dan fasilitas publik dalam menunjang wisata bahari yang telah dibangun, seperti dermaga dan resort yang telah diinvestasikan di wilayah Nusa Penida.

DAMPAK RING OF FIRE PADA PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BANTUL DIY

Mevlevi Haydar As Shafa, Gede Manik Aryadatta Narendra,Zein Afandi, I Putu Crisna Putra Ardhika, Athif Izza Maula (Teknik Kelautan FTK ITS)

Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak pada zona gugusan
gunung berapi atau Ring Of Fire, zona ini memberikan pengaruh besar terhadap gempa, yaitu hampir 90% dari kejadian gempa di bumi dan semuanya merupakan gempa dengan skala
yang besar di dunia (Kramer, 1996). Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat rawan bencana terutama gempa bumi baik itu secara tektonik maupun vulkanis.
Gempa bumi juga dapat menimbulkan bencana lain salah satunya yang paling besar adalah tsunami. Gempa bumi bila disertai tsunami dapat menjadi bencana yang besar dan mematikan (Prasetya dkk., 2006).

Di kawasan wilayah Indonesia terdapat beberapa lokasi yang termasuk daerah rawan gelombang tsunami secara alamiah yaitu pada wilayah pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal tersebut disebabkan karena di daerah tersebut merupakan tempat bertemunya Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia (Cahanar, 2005).

Di Pulau Jawa, Kabupaten Bantul yang menjadi sorotan untuk dilakukannya perlindungan terhadap gelombang tsunami dikarenakan daerah tersebut masuk ke dalam zona cincin api
(Ring of Fire) (Harahap, 1999).

Ancaman Bencana dan Potensi Wisata Pesisir Bantul

Kabupaten Bantul merupakan salah satu wilayah administrasi di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa tengah yang secara spesifik berada di bagian selatan Pulau Jawa. Kondisi
geografis yang berada di jalur selatan Pulau Jawa dengan pergerakan lempeng yang cukup impulsif dan berada persis di hamparan Samudera Hindia menjadikan Bantul sebagai daerah yang rawan akan gelombang tsunami.

Di luar kondisi tersebut, hamparan laut yang begitu indah menjadikan Bantul pusat wisata
yang menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara untuk mengunjungi
daerah tersebut. Hal tersebut menjadi alasan perlu adanya analisa dalam menentukan potensi
ancaman gelombang tsunami di daerah tersebut.

Di pesisir Kabupaten Bantul terdapat kawasan wisata pantai selatan yang terkenal akan
keindahannya. Pantai selatan Bantul membentang sepanjang kurang lebih 13 kilometer dari Pantai Parangtritis sampai Pantai Baru, deretan pantai tersebut terkenal akan pasir hitam dan keindahan sunset yang sangat indah dengan Pohon Cemara di sekitar area bibir pantai.

Pemandangan salah satu sisi pesisir Kabupaten Bantul

Rindangnya pepohonan yang tumbuh berjejer di tepi pantai tersebut, menjadikan suasana di
lokasi ini sejuk dan tidak panas ketika siang hari. Hal tersebut dimanfaatkan wisatawan untuk sekedar duduk diatas tikar sembari menikmati keindahan laut, serta menikmati sejuknya hembusan angin di bawah pohon cemara.

Selain itu keberadaan ribuan kincir angin sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid (PLTH)
di sisi barat pantai menjadi manget bagi lokasi terebut menarik minat wisatawan untuk datang
baik sekedar penasaran maupun menambah pengetahuan. Pemandu wisata juga telah disediakan untuk para wisatawan yang ingin merasakan wisata pendidikan untuk mengetahui
lebih dalam tentang PLTH terbesar di Indonesia ini.

Kerawanan Gelombang Tsunami Pesisir Bantul

Dibalik keindahan panorama di pesisir Bantul yang menawan, terdapat ancaman bahaya yang
cukup serius. Hal ini dikarenakan lokasi Kabupaten bantul yang berada kawasan Ring of Fire dengan pergerakan lempeng tektonik cukup aktif di wilayah selatan Pulau Jawa yaitu
bertemunya lempeng Indo – Australia dan lempeng Eurasia. Dampak dari pergerakan aktif
lempeng tersebut akan mengakibatkan gempa tektonik dan memungkinkan terjadinya tunami apabila terdapat gempa tektonik dengan skala besar.

Besar kecilnya kerawanan gelombang tsunami tergantung pada besarnya ketinggian gelombang tsunami, keadaan topografi pantai dan daratan.

Beberapa parameter yang mempengaruhi kerawanan gelombang tsunami di pesisir Bantul meliputi elevasi daratan, slope, jarak dari garis pantai, dan jarak sungai.

Wilayah pantai selatan yang memiliki elevasi rendah membuat tingkat kerawanan gelombang
tsunami di daerah ini lebih tinggi ditambah keberadaan aliran sungai menyebabkan gelombang tsunami dapat menggerus apapun yang dilaluinya. Tinggi rendahnya elevasi suatu
wilayah tersebut mempengaruhi tingkat kerawanan terhadap gelombang tsunami yang terjadi.

Gelombang tsunami memiliki sifat merusak, sehingga dalam penataan ruang harus memiliki
kawasan penyangga. Penentuan wilayah dari garis pantai merupakan parameter yang cukup
penting. Oleh karena itu, dalam suatu analisis kerawanan gelombang tsunami perlu menentukan jarak dari garis pantai. Semakin pendek jarak dengan pantai mengindikasikan
rendahnya kerawanan terhadap gelombang tsunami, begitu sebaliknya.

Daerah pesisir Bantul memiliki jarak sungai yang berjauhan. Letak sungai yang berdekatan
satu sama lain menyebabkan limpasan gelombang tsunami ke daratan akan menimbulkan kerusakan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan adanya akumulasi energi gelombang tsunami dan massa air. Oleh karena itu, apabila ingin membangun bangunan untuk kepentingan perumahan, perindustrian, maupun perekonomian, sebaiknya dilakukan pada daerah yang berjarak < 250 m dari sungai yang bertujuan untuk meminimalisir kerugian yang cukup tinggi.

ICZM sebagai Konsep Mitigasi Bencana

Menyadari potensi bencana alam gampa bumi dan tsunami di wilayah pesisir Bantul dan untuk mengurangi dampak bencana di masa depan, hal ini diperlukan upaya mitigasi bencana yang lebih komprehensif baik melalui pendekatan non – struktural maupun melalui pendekatan struktural. Upaya mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan konsep Integrated Coastal Zone Management (ICZM).

Dengan konsep ICZM, penyelenggaraan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil tidak terlepas dari aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, kelestarian lingkungan hidup, kemanfaatan dan efektivitas, serta lingkup luas wilayah. Sehingga upaya mitigasi bencana akan menguntungkan dari segi lingkungan dan juga masyarakat.

Strategi atau upaya mitigasi bencana alam gempa bumi dan tsunami dengan penerapan konsep ICZM yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat pesisir Kabupaten Bantul antara lain adalah upaya mereduksi dampak negatif jika terjadi bencana gempa bumi yaitu mikrozoning analisis kerawanan dan analisa resiko. Pengkajian mikrozoning dapat meliputi kajian tentang karakteristik bencana, frekuensi, waktu dan periode berlangsungnya bencana. Hasil kajian berupa data dan informasi potensi kebencanaan nantinya dipakai dalam melakukan analisis kerawanan dan resiko di wilayah pesisir Kabupaten Bantul.

Analisis kerawanan dimaksudkan untuk mengetahui kondisi mana saja yang rawan, sekaligus memberikan skenario penanggulangan apabila terjadi bencana. Sedangkan analisa resiko
bencana bertujuan untuk memberikan informasi yang rinci dan jelas tentang karakteristik bencana serta resiko yang akan dihadapi. Dengan mengetahui dua hal tersebut, aparat maupun masyarakat dapat melakukan langkah-langkah perencanaan dan kesiapsiagaan yang efisien dan efektif.

Strategi mitigasi bencana lainnya adalah upaya mereduksi dampak tsunami, yaitu dapat dilakukan melalui penyediaan sistem peringatan dini (early warning system) yang secara cepat mampu membaca kenaikan gelombang laut tiba-tiba yang disebabkan oleh gempa bumi. Upaya lainnya yang bisa dilakukan adalah penggunaan bangunan peredam tsunami seperti dike (tanggul)
atau breakwater (pemecah ombak).

Strategi mitigasi bencana lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan kebijakan rumah penduduk harus memiliki struktur kuat sehingga tahan terhadap guncangan gempa dan tsunami serta arah orientasi bangunan tegak lurus dengan garis pantai sehingga sejajar dengan arah perambatan gelombang tsunami.

Konsep ICZM dalam pengelolaan wilayah pesisir berbasis mitigasi bencana pada dasarnya bertujuan untuk mendayagunakan potensi pesisir dan laut untuk meningkatkan kontribusi terhadap
pembangunan ekonomi nasional, kesejahteraan pelaku pembangunan kelautan khususnya, dan untuk tetap menjaga kelestarian sumber daya kelautan khususnya sumber daya alam serta dapat meminimalisir adanya kerugian harta benda maupun nyawa manusia jika terjadi bencana pesisir.

kabar dan inovasi dari maritime, lingkungan hidup, energi terbarukan