Category Archives: energi

REKLAMASI TELUK JAKARTA, RIWAYATMU KINI

DAMPAK EKOLOGI, SOSIAL, EKONOMI

Ilham Kurniawan, Napoleon Bonaparte Nakiva, Ikla Shafy (Teknik Kelautan FTK ITS)

Reklamasi adalah sebuah rekayasa lingkungan dengan cara menimbun suatu wilayah dengan material timbunan dengan luasan tertentu, pada dasarnya pelaksanaan reklamasi ini tentu memiliki dasar kepentingan tertentu sebelum diadakannya pelaksanaan pembangunan.

Pelaksanaan reklamasi sering mendapat pro dan kontra dari beberapa pihak, ada pihak yang mendukung reklamasi dengan alasan untuk pertumbuhan ekonomi dan sektor pariwisata, dan ada pihak lain yang menolak keras dengan alasan keselamatan lingkungan hidup.

Salah satu reklamasi yang mendapat perhatian masyarakat Indonesia adalah proyek Reklamasi Teluk Jakarta.

Kronologis Reklamasi Teluk Jakarta

Rencana reklamasi di Teluk Jakarta sudah ada sejak zaman orde baru, melalui Keputusan Presiden Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995.

Perjalanan proyek ini tidak berjalan mulus, luas wilayah yang akan direklamasi sekitar 2.700 hektar. Metode reklamasi yang digunakan adalah pengerukan sehingga lokasi reklamasi akan lebih tinggi daripada permukaan air, untuk pengerukannya membutuhkan 330 juta m3 bahan urukan termasuk pasir.

Reklamasi di Teluk Jakarta yang bertujuan untuk mengendalikan banjir di Jakarta dan sebagai area pengembangan bisnis di Jakarta, dilaksanakan dengan membangun tanggul raksasa (Jakarta Giant Sea Wall/JGSW) sepanjang 60 km di Teluk Jakarta dan pembangunan 17 pulau buatan di depan pantai. Kini melalui proses yang berliku telah terbangun 4 pulau, yaitu Pulau C, D, G dan N.

Izin pembangunan pulau reklamasi lainnya di Teluk Jakarta selanjutnya diverifikasi oleh Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dibentuk melalui Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2018.

Hasil verifikasi badan tersebut menunjukkan, para pengembang yang mengantongi izin reklamasi tidak melaksanakan kewajiban mereka. Ke-13 pulau tersebut yakni Pulau A, B, dan E (pemegang izin PT Kapuk Naga Indah); Pulau I, J, dan K (pemegang izin PT Pembangunan Jaya Ancol); Pulau M (pemegang izin PT Manggala Krida Yudha); Pulau O dan F (pemegang izin PT Jakarta Propertindo); Pulau P dan Q (pemegang izin PT KEK Marunda Jakarta); Pulau H (pemegang izin PT Taman Harapan Indah); dan Pulau I (pemegang izin PT Jaladri Kartika Paksi).

Selanjutnya ke-4 pulau yang telah tereklamasi, yakni Pulau C dan D (pemegang izin PT Kapuk Naga Indah), Pulau G (pemegang izin PT Muara Wisesa Samudra), dan Pulau N (pemegang izin PT Pelindo II) tetap dilanjutkan pembangunan sesuai peruntukannya. Dan Pemprov DKI Jakarta menugaskan PT Jakarta Propertindo untuk mengelola 3 pulau, yakni Pulau C, Pulau D, dan Pulau G, selama sepuluh tahun. Penugasan itu tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 120 Tahun 2018.

Selanjutnya Pemprov DKI Jakarta mengubah nama ke-3 pulau ini. Pulau C, D, dan G diganti menjadi Kawasan Pantai Kita, Kawasan Pantai Maju, dan Kawasan Pantai Bersama.

Desain Pulau Reklamasi Teluk Jakarta

Dampak Positif

Dengan dilanjutkannya proyek pembangunan ke-4 pulau hasil reklamasi, diharapkan memberikan dampak positif.

Pertama, membuka lapangan pekerjaan baru karena adanya pembangunan properti sehingga kebutuhan akan lapangan kerja untuk konstruksi juga akan terbuka, selain itu juga terbuka peluang bidang usaha baru, seperti restoran, hiburan, dan wisata.

Kedua, dapat mengantisipasi pasang surut air laut menjadikannya bendungan untuk menahan kenaikan air laut/banjir rob, dapat memecah gelombang, dan mengurangi risiko abrasi. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagian besar pantai utara Jakarta adalah kawasan yang setiap tahun selalu rawan banjir rob, akibat pasang air laut yang selalu naik ke daratan.

Ketiga, memberikan akses tempat tinggal, tempat usaha dan tempat fasilitas publik lainnya bagi penduduk Jakarta. Hal ini didukung Pemprov DKI Jakarta yang menugaskan PT Jakpro untuk mengelola lahan kontribusi hasil reklamasi untuk pembangunan prasarana publik. Prasarana yang dimaksud antara lain rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah, pasar tematik ikan, restoran ikan, tempat ibadah, kantor pemerintah, dan dermaga. Selain itu, pantai reklamasi juga bakal menjadi pantai pertama di Jakarta yang benar-benar gratis untuk publik.

Dampak negatif

Selain memberikan manfaat, dampak negatif yang mungkin timbul perlu dikelola dengan baik, misalnya tata kelola air, tata kelola sampah, dan ekosistem laut.

Timbulan sampah baik dari industri, restoran, dan rumah tangga dari kawasan pulau buatan tersebut tentunya akan membutuhkan lahan baru dalam pengelolaan sampah, dimana saat ini saja lahan untuk pengelolaan/TPA sampah Jakarta sudah tidak ada, dan menggunakan daerah penyangga Jakarta, misalnya Bekasi, Bogor, dan Tangerang. Ini juga membuat tantangan baru terkait pengelolaan sampah rumah tangga, termasuk juga limbah domestik rumah tangga agar tidak mencemari lingkungan laut sekitarnya, karena jika langsung terbuang ke saluran umum akan langsung mencemari laut

Sistem tata kelola air di wilayah pesisir, dimanq ada 13 sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta nantinya akan bertambah panjang 1,5 kilometer, tetapi dasar sungai menjadi sangat landai hingga ketinggian muara baru hasil reklamasi menjadi nol meter sehingga air sungai sulit mengalir ke laut dengan rendahnya muara sungai, dan tentunya akan berdampak pada banjir rob disepanjang bantaran sungai dan pesisir.

Selain itu hilang/berkurang nya ekosistem bagi biota laut karena wilayah perairan Teluk Jakarta merupakan tipe ekosistem komplek yang di dalamnya terdapat hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuari, sehingga berdampak pada hasil tangkapan nelayan sekitar, bahkan dikhawatirkan akan hilangnya mata pencaharian sebagian besar nelayan, karena selain berkurang nya hasil tangkapan, mungkin juga beralih profesi menjadi tenaga kerja di tempat-tempat usaha baru di pulau buatan ini.

Kemungkinan terjadinya dampak lanjutan adalah terjadi sedimentasi dan pengendapan sedimen ke dasar perairan yang dapat merubah dasar perairan dan membahayakan alur pelayaran, pelabuhan dan beberapa objek vital lainnya, misalnya Pelabuhan Sunda Kelapa, Pelabuhan Tanjung Priok, dan PLTGU Muara Karang. Selain karena ancaman sedimentasi sehingga mempengaruhi area labuh dan keluar masuk kapal, diprediksi akibat reklamasi dapat menaikkan suhu air laut 1-2 derajat.

Mitigasi Dampak Negatif

Untuk memperbaiki ekosistem yang hilang/rusak perlu menambah/membangun ekosistem baru, misalnya melakukan rehabilitasi ekosistem mangrove di bagian timur Teluk Jakarta yaitu di sekitar Muara Gembong hingga Tanjung Karawang untuk menjaga fungsinya sebagai daerah asuhan ikan dan udang, serta di bagian barat di pesisir Tangerang.

Untuk tata kelola air, diperlukan waduk/embung serta pompanisasi untuk pengendalian banjir rob yang mungkin terjadi.

Untuk pengelolaan sampah dan limbah domestik, diperlukan sistem pengelolaan limbah terpadu dan terintegrasi di setiap lulau, agar tidak terbuang ke badan air dan mencemari laut.

Untuk tatakelo sampah sebaiknya didaur ulang di dalam pulau, bahkan dapat dialokasikan lahan dan teknologi untuk pembangunan PLTS (pembangkit listrik tenaga sampah).

KAMPUNG LAUT BONTANG KUALA MENUJU SMART MARINE ECO TOURISM

Elang Setia Pratama, Dedy Rizaldy, Adiwira Surya Susanto, Tyas Naufal Hilmy (Teknik Kelautan FTK ITS)

Indonesia merupakan negara dengan potensi dan sumber daya alam laut yang melimpah, di mana luas wilayah perairannya mencapai 3,257 juta km2 sesuai dengan yang tertera pada United Nation on the Law of the Sea ( UNCLOS ). Potensi perairan yang besar ini dapat mendukung program Blue Economy, sebuah program yang dicanangkan oleh World Bank untuk mendukung pemanfaatan sumber daya alam laut di berbagai sektor, seperti pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pekerjaan dengan tetap memperhatikan kesinambungan dan menjaga keasrian ekosistem laut.

Blue Economy

Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ( Bappenas ), Indonesia sendiri sudah menyiapkan rancangan pengembangan ekonomi di daerah- daerah pesisir yang sesuai dengan prinsip Blue Economy. Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi pemanfaatan perairan yang besar sehingga dapat mendukung tujuan Blue Economy adalah Kampung Laut Bontang Kuala. Daerah ini terletak di wilayah timur Kota Bontang dan berada di pesisir barat perairan Selat Makassar. Dengan jumlah penduduk sebanyak 4.823 jiwa dan luas wilayah sebesar 585 Ha, Kampung Laut Bontang Kuala menyimpan dan menyajikan keindahan alam berupa hamparan laut dan ombak yang luas, serta menjadi tujuan wisata lokal maupun mancanegara. Tidak hanya itu, daerah ini juga dijadikan sebagai tempat konservasi mangrove dan tumbuhan laut lainnya.

Kampung Laut Bontang berpotensi dikembangkan menjadi Marine Eco Tourism dan dilengkapi dengan teknologi penghasil energi bertenaga ombak dan arus laut sehingga pemanfaatan dan pengembangan daerahnya sesuai dengan prinsip Blue Economy, yaitu pemanfaatan sumber daya alam perairan yang berkesinambungan.

Wisata Bahari Kampung Laut Bontang Kuala

Kampung Laut Bontang Kuala merupakan kawasan wisata bahari dengan berbagai fasilitas yang menunjang turis lokal maupun mancanegara untuk menikmati keindahan perkampungan di atas laut yang juga pemandangan ombak laut itu sendiri. Tempat wisata ini memiliki komoditas unggulan di bidang perikanan, seperti udang, kepiting, ikan kerapu, dan perikanan lainnya. Hasil dari perikanan yang ditangkap oleh nelayan setempat dapat langsung diperjual belikan dan diolah langsung untuk diminati oleh turis sehingga memberikan pengalaman menikmatin sajian laut yang segar dan langsung dari nelayannya.

Selain itu, Kampung Laut Bontang Kuala juga menyajikan keindahan alam lainnya seperti hutan mangrove dan terumbu karang yang berada di sekitar kawasan Kampung Laut Bontang Kuala. Turis dapat menikmati pemandangan laut dan hamparan hutan mangrove serta terumbu karang yang luas.

Pemandangan laut Kampung Laut Bontang Kuala


Ritual Adat Pesta Laut Mencera Buluh

Kampung Laut Bontang Kuala juga menawarkan pengalaman menyaksikan kehidupan khas nelayan suku Bugis dengan berbagai tradisi dan budaya yang masih kental. Pengunjung dapat menikmati perayaan pesta laut yang diadakan tiap akhir tahun oleh nelayan lokal. Pesta laut ini merupakan pesta adat yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa atas hasil yang didapatkan saat melaut. Pesta Laut ini rutin diselenggarakan di pertengahan bulan November hingga Desember dengan berbagai susunan acara dan ritual adat.

Salah satu yang terkenal adalah ritual adat Mencera Buluh atau diartikan dalam bahasa Indonesia adalah menjamu kampung. Tujuan ritual adat ini adalah untuk memberitahu dan menghormati roh penjaga perairan kampung Bontang Kuala dengan meletakkan darah ayam kampung dan pembuatan singgasana dari rotan dan janur kuning yang diikat dan dianyam. Selanjutnya adalah Melabuh Perahu, sebuah ritual adat di mana sebuah perahu kecil dilabuhkan sambil diiringi oleh musik tradisional masyarakat sekitar, seperti gendang dan gelintangan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjauhkan penyakit dan musibah dari masyarakat Kampung Laut Bontang Kuala.

Pesta Laut ini masih kental pada masyarakat sekitar Kampung Laut Bontang Kuala dan terus dijalankan hingga saat ini sebagai bentuk upaya untuk melestarikan warisan budaya Indonesia. Turis juga dapat mengikuti kegiatan upacara yang dilakukan saat pesta laut bersama masyarakat sekitar. Terdapat juga perlombaan yang diadakan seperti balap kapal, lomba mendayung, dan panjang pinang sehingga dapat menarik perhatian turis, terutama mancanegara.

Smart Eco Tourism

Potensi yang ada pada Kampung Laut Bontang Kuala dapat disempurnakan sesuai dengan penerapan Integrated Coastal Zone Management (ICZM ) sehingga dapat mewujudkan salah satu penerapan Blue Economy, yaitu Smart Marine Eco Tourism. Penerapan ini dapat diwujudkan dengan pengimplementasian teknologi penghasil listrik dari energi laut.

Pembangkit energi terbaharukan yang optimal untuk kawasan Kampung Laut Bontang Kuala adalah Oscillating Water Column ( OCW ) dan turbin angin karena gelombang laut dan kecepatan angin yang cukup kencang di daerahnya. Implementasi kedua pembangkit listrik tersebut dapat menunjang kebutuhan listrik masyarakat sekitar dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada dan hasil energi listriknya dapat langsung disalurkan ke rumah warga. OCW dapat diletakkan di tiang pancang rumah warga dan turbin angin dapat diletakkan di daerah sekitar pesisir yang memiliki kecepatan angin yang paling kuat. Hasil energi dari OCW dapat digunakan untuk kebutuhan listrik perumahan warga dan hasil listrik dari turbin angin dapat digunakan untuk menyalakan lampu jalan dan fasilitas umum.

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR LARANTUKA

Elang Setia Pratama, Dedy Rizaldy, Adiwira Surya Susanto, Tyas Naufal Hilmy (Mahasiswa Teknik Kelautan FTK ITS)

Indonesia, dengan luas wilayah perairan laut mencapai 6,4 juta km² atau sekitar tiga kali lipat dari luas wilayah daratannya, total panjang garis pantai mencapai 108.000,00 km (KKP,2019) memiliki peluang dan tantangan pengembangan dalam segi ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan dalam mengelola wilayah pesisir dan pantainya. Potensi sumber daya alam, perikanan dan pariwisata menjadi potensi terbesar dalam mengembangkan wilayah pesisir tersebut.

Selain keunikan ini, Indonesia juga termasuk dari beberapa negara di dunia yang berada dalam pada Cincin Api Pasifik atau biasa dikenal dengan Ring of Fire. Cincin Api Pasifik adalah daerah dengan rangkaian gunung berapi aktif yang tersebar dari Selandia Baru hingga ke Amerika Selatan dan melintasi berbagai negara, termasuk di Indonesia. Keberadaan Indonesia di Cincin Api Pasifik ini secara geologis membuat Indonesia memiliki cukup banyak gunung berapi yang masih aktif. Indonesia memiliki 127 gunung berapi dan terdapat 69 gunung berapi aktif (PVMBG, 2021).

Dengan fakta geografis dan geologis tersebut, banyak wilayah pesisir Indonesia menyimpan potensi sumber daya mineral, pariwisata, dan material, salah satunya adalah pesisir Larantuka, Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Saat ini potensi yang ada belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah daerah adalah dengan tingkat pembangunan infrastruktur yang minim dan kondisi kesejahteraan masyarakatnya yang berbeda dengan mereka yang tinggal di wilayah perkotaan. Pesisir Larantuka apabila
dimanfaatkan potensinya secara optimal dapat membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat pesisir di sana dan dapat meningkatkan devisa negara di Indonesia lewat potensi sumber daya alam dan perikanan dan menarik minat investor.

Pola pemanfaatan lahan di Larantuka

Perikanan Larantuka

Potensi sumber daya alam yang dapat
diperbarui (renewable resource) cukup beragam, salah satunya sumber daya perikanan, karena memiliki variasi jenis ikan yang banyak seperti Ikan Pelagis (Tuna, Cakalang, Tenggiri, Tongkol, Layar, Kombong, Tembang, Sardin, Teri, dll) dan Ikan karang/demersal (Kerapu, Kakap, dll).

Nelayan biasanya memanfaatkan semua jenis ikan yang bisa mereka tangkap. Mayoritas nelayan tradisional yang mempunyai armada sederhana biasanya memprioritaskan tangkapan ikan karang/demersal karena beroperasi di sekitar terumbu karang tidak jauh dari desa mereka. Hasil perikanan tangkapan nelayan biasanya dipasarkan ke beberapa tempat
meliputi perusahaan perikanan, pengumpul/papalele, Pasar Larantuka, dan konsumen langsung. Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Flores Timur pada tahun 2013 Kecamatan Larantuka dapat menghasilkan perikanan laut sekitar 4043 Ton.

Ekowisata Mangrove Larantuka

Kecamatan Larantuka juga memiliki potensi pada tanaman mangrovenya. Tanaman bakau atau mangrove di kawasan pesisir sangat berguna karena dapat menangkal erosi gelombang terhadap garis pantai yang dimana terdapat pemukiman masyarakat nelayan, dan juga kayu-kayu tanaman mangrove yang sudah mengering dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Potensi lainnya adalah dapat dijadikan destinasi objek wisata khususnya ekowisata yang menawarkan konsep pendidikan dan konservasi.

Ekowisata menjadi salah satu pilihan yang dapat mempromosikan lingkungan yang khas dan tetap terjaga keasliannya sekaligus menjadi suatu kawasan kunjungan wisata. Lebih jauh lagi pada kawasan mangrove, dengan estetika wilayah pantai yang mempunyai berjuta tumbuhan dan hewan unik akan menjadikan kawasan ini potensial bagi pengembangan konsep ekowisata. Kondisi mangrove yang sangat unik dengan potensi sumberdaya alam berupa bentang alam, flora, fauna dan kegiatan sosial ekonomi sebagai objek dan daya tarik ekowisata. Selain itu juga dapat sebagai model wilayah yang dapat dikembangkan sebagai sarana wisata dengan tetap menjaga keaslian hutan serta organisme yang hidup disana. Dengan pengembangan terpadu, maka peluang mengoptimalkan nilai ekonomis, ekologis dan pendidikan pada kawasan hutan mangrove sangat besar.


Energi Laut Larantuka

Energi laut merupakan bentuk energi terbarukan
yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya laut, meliputi energi gelombang, energi
pasang surut, energi arus laut, dan energi termal laut. Secara teknis, energi laut merupakan
energi yang dihasilkan dari energi kinetik pergerakan air laut, energi potensial dari perbedaan ketinggian muka air laut dan perbedaan dari temperatur air laut.

Berdasarkan hasil sebuah penelitian, Selat Larantuka memiliki arus laut yang sangat kuat untuk dikembangkan sebagai sumber tenaga listrik, yaitu terendah 0,004 m/detik dan tertinggi 3,68 m/detik (Yuningsih, 2009). Kecepatan arus di daerah Selat Larantuka tersebut memenuhi syarat sebagai pembangkit listrik tenaga arus karena area yang paling potensial untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga arus laut yang disarankan Marine Current Turbine Ltd. adalah yang mempunyai nilai kecepatan minimum 2 m/s – 2.5 m/s (Gordon, 2003; Fraenkel, 1999).

Potensi arus di Selat Larantuka telah dilakukan penelitian dengan menggunakan Turbin
pembangkit listrik tenaga arus laut (PLTAL), jenis turbin yang dipasang adalah turbin poros vertikal tipe Darrieus berbilah turbin lurus. Dengan diameter putarnya 2 m dan panjang bilah
2 m, dengan efisiensi total 35%, turbin tersebut dapat menghasilkan listrik 2 kW pada kecepatan arus 1.4 m/detik. Pada uji coba pertamanya, PLTAL dapat menghasilkan listrik berfluktuasi antara 900–2000 W (Erwandi, 2010). Hasil uji coba tersebut, menunjukkan bahwa Selat Larantuka memiliki potensi yang besar dalam energi listrik arus laut. Uji coba tersebut seharusnya dapat ditindaklanjuti dengan melakukan pengujian lanjutan untuk mendapatkan nilai yang ekonomis sehingga energi listrik yang dihasilkan dapat menjadi solusi untuk memasok listrik di Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur.

Keuntungan penggunaan energi arus laut yaitu ramah lingkungan karena arus laut termasuk sumberdaya alam terbarukan, selain itu karena densitas air laut lebih besar yaitu 800 kali densitas udara maka untuk menghasilkan daya energi yang sama ukuran diameter turbin energi arus laut akan jauh lebih kecil dari turbin angin, sehingga tidak memerlukan lahan yang luas seperti turbin angin. Selain itu juga, turbin arus laut juga tidak memerlukan perancangan untuk
kondisi atmosfer yang ekstrim seperti turbin angin karena keadaan di bawah air relatif konstan.

Secara umum, kekurangan dari energi arus laut ini adalah membutuhkan biaya yang cukup
besar, lalu kekurangan yang lainnya lagi masih banyak energi arus laut ini hanya sekedar
penelitian belum di implementasikan secara serius di Indonesia.

Mitigasi Bencana dengan Pendekatan ICZM

Larantuka sebagai ibukota dari Kabupaten Flores Timur, yang berada didalam jalur daerah gunung berapi di Indonesia, dan memiliki 4 (empat) gunung berapi yaitu Gunung Lewotobi Laki-laki 1.584 Mdpl, Gunung Lewotobi Perempuan 1.703 Mdpl, Gunung Leraboleng 1.117 Mdpl serta Gunung Boleng 1.659 Mdpl, akan mempunyai bahaya/ancaman bencana lebih besar.

Selain ancaman dampak langsung erupsi gunung berapi diatas, juga terdapat ancaman gelombang tsunami, sehingga dari segi penanggulangan bencana harus dikelola dengan baik dan benar supaya meminimalisirkan dampak kerusakan yang terjadi.

Gambaran mitigasi bencana dalam pendekatan ICZM

Kebijakan dalam pengelolaan pesisir dan pulau kecil menjadi kerangka konseptual untuk mengurangi dampak akibat bencana pada wilayah pesisir tersebut. Dengan adanya mitigasi bencana yang berupa pengenalan serta adaptasi bahaya alam maupun buatan manusia. Sekaligus menghilangkan resiko jangka pendek, menengah, hingga panjang.

Rohkmin Dahuri: PERKUAT PEMBANGUNAN EKONOMI MARITIM NATUNA UNTUK new growth and prosperity centers dan soverignity belt nkri

Jakarta, 26 Juni 2020

Pulau-pulau terluar Indonesia dalam tinjauan kedaulatan dan kesejahteraan merupakan wilayah yang sangat strstegis.

Karena nilai strategis ini kadang harus kita balik paradigmanya, bahwa ia bukan lagi diluar, sehingga terkesan terakhir atau belakangan. Ia harus dianggap paling dekat, diutamakan dan terdepan.

Nila strategis pembangunan wilayah pesisir dan ppk terdepan ini, khusunya Natuna antara lain:

  1. Mengandung potensi pembangunan (SDA, JASLING, dan posisi geoekonomi dan geopolitik sangat strategis) luar biasa besar, yang hingga kini sedikit sekali tersentuh pembangunan
  2. Intensitas pembangunan dan jumlah penduduk sangat rendah
  3. Memecahkan permasalahan nasional yang khronis berupa tingginya angka pengangguran, kemiskinan, dan disparitas pembangunan antar wilayah yang sangat timpang. Karena, P. Jawa kelebihan beban ekologis, luarJawa mubazir, dan logistik menjadi tidak efisien dan mahal.
  4. Selain akanmenciptakan new growth and prosperity centers  (prosperity belt), pembangunan wilayah Natuna juga bakal berfungsi sebagai soverignty belt mengatasi masalah konflik Laut China Selatan.
  5. Wilayah pesisir dan PPK terdepan Natuna memiliki potensi yang paling feasible untuk visi pembangunan ekonomi maritim.

Hal ini disampaikan Rohkmin Dahuri dalam Webjnar yang diselenggarakan oleh Kepri Lawyer Club (KLC) dengan topik Integrasi maritime dan laut Natuna sebagai kekuatan dan perwujudan keunggulan ekonomi dan potensi stratgeis nasional dengan berbagai problematikanya, pada 26 Juni lalu.

Wilayah laut Natuna 262.197,07 km2 atau 99,24% dari luas daratan, dengan Panjang Pantai 460 km dan jumlah pulau 154 dengan hanya 30 yang berpenduduk, dan terdapat 7 pulau terluar/terdepannya, adalah salah satu daerah zamrud khatulistiawa yang menyimpan potensi besar untuk pembangunan ekonomi maritim.

Sektor ekonomi maritim yang layak dikembangkan di Natuna adalah pertama perikanan tangkap. Selain mengembangkan model kawasan industri perikanan secara terpadu/terinterasi antara industri pengolahan, sarana produksi, perumahan nelayan & pembudidaya, lembaga keuangan, dan pelabuhan, juga perlu meningkatkan kapasitas dan jenis alat tangkap armada kapal perikan untuk diatas wilayah penangkapan 12 mill laut bahkan ke wilayah ZEE.

Kedua, perikanan budidaya laut. Ketiga, industri hilir migas seperti pembangkit listrik, pabrik pupuk, pabrik polietelin, dan pabrik tekstil.

Keempat pelabuhan dan pusat logistik internasional, dan kelima pengembangan kota pantai dan pariwisata bahari.

Mining fiscal systems and resource rents: evidence from oil and gas producing countries

Jakarta, Jan 16th 2020. Abdul Nasir, The Candiddat of Doctor at Arndt-Corden Department of Economics, Crawford School of Public Policy, Australian National University, Canberra, ACT, Australia, presented his findings of the mining fiscal systems and resource rents.

The findings has presented on FGD of Oil Gas Economy and Eerrgy Security by PUSHEP.

We know about the economic values & negative impacts of oil & gas, for example the economic values are government revenue, energy supply, and raw material for other industries. But the negative impacts are environmental degradation and GHG emissions.

In the word, we know about oil and gas legal systems, concession system and contractual systems. And for contractual systems consist of production sharing contract or service contract. And the mining fiscal systems are Non profit based tax – Gross Royalty Tax (GRT) and Profit based tax – Resource Rent Tax (RRT).

In some facts, most countries initially used GRT since it was the only system known in the early period of oil and gas mining.
In 1970s, pioneered by Garnaut and Clunies-Ross (1975), economists started to discuss the RRT as an alternative fiscal system for mineral resource extraction, including oil and gas.

During 1970-2015 23 countries used GRT; and 12 countries applied RRT 47 countries changed their oil and gas mining fiscal systems from GRT to RRT or hybrid system. In 2015: 23 countries used GRT system & 59 countries applied RRT/Hybrid system.

Nasir found that applying RRT system has better impact than using GRT on generating oil and gas rents in more democratic countries and in countries with greater level of freedom. Also that applying the RRT system has also better impact than using GRT on generating oil and gas rents in developing countries with better institutions.
And the last, the number of oil and gas exploration wells drilled and oil and gas production are the important channels in the relationship between fiscal systems and resource rents.