Category Archives: Artikel

BAGAIMANA ICZM MEMITIGASI BENCANA DAN PENANGANAN SAMPAH PESISIR KABUPATEN SERANG

Elang Setia Pratama, Dedy Rizaldi, Adiwira Surya Susanto, Tyas Naufal Hilmy*), Pratikto WA, Mustain M **), Suwardi***)

ICZM dasar bagi pengembangan pesisir

Pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir merupakan usaha dan kinerja yang membutuhkan perencanaan dan ilmu yang matang untuk dapat mengeksekusi hal tersebut menjadi sesuatu yang baik dan bermanfaat. Wilayah pesisir memiliki banyak komponen yang harus dipertimbangkan, mulai dari kondisi sosial masyarakat, sumber daya, lingkungan fisik perairan, ancaman bencana, hingga perawatan dan pengembangan yang berkelanjutan serta ramah lingkungan. Ilmu pengelolaan wilayah pesisir tersebut dapat kita kenal dengan istilah yang dikenal di dunia internasional, yaitu Integrated Coastal Zone Management (ICZM).

ICZM memiliki dasar untuk menciptakan pengembangan wilayah pesisir dengan prinsip sustainable development dan ramah lingkungan dalam proses pengembangannya. ICZM penting bagi Indonesia yang memiliki luas wilayah lautan sebesar 3,25 juta km2 dan 2,55 juta km2 sebagai zona wilayah ekonomi ekslusif (ZEE). Indonesia juga memiliki wilayah konservasi perairan sebesar 23,14 juta hektar yang dapat dikembangkan dengan metode ICZM (KKP, 2020).

Pemerintah memiliki fungsi menentukan arah dan visi pembangunan maritim untuk negara Indonesia. Visi pembangunan ini penting untuk menentukan kebijakan serta peraturan yang mendukung pembangunan berskala panjang dan tetap memperhatikan prinsip sustainable development. Pemerintah juga memegang peranan penting untuk menciptakan peraturan-peraturan untuk mengontrol dan menjaga pemanfaatan sumber daya pesisir dari oknum yang ingin merusak dan mengeksploitasi sumber daya alam tersebut, misalnya peraturan yang telah ada dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah UU 27 Tahun 2007.

Masyarakat pesisir merupakan komponen yang bersentuhan langsung dengan wilayah pesisir. Dengan potensi hasil tangkapan laut yang besar, kondisi masyarakat pesisir di Indonesia pada umumnya berbanding terbalik. Kualitas sumber daya manusia nelayan di sebagian besar masyarakat pesisir juga masih jauh dibawah rata-rata standard yang diterapkan pemerintah, yaitu pendidikan hingga setara sekolah menengah keatas (SMA). Peralatan serta fasilitas yang dipakai juga hanya mampu untuk menangkap ikan dalam skala kecil.

Peningkatan kualitas sumber daya alam bagi masyarakat pesisir harus menjadi prioritas karena ujung tombak ekonomi kelautan ada di tangan mereka. Sesuai dengan dasar ICZM, sumber daya manusia pesisir memegang peranan penting untuk mewujudkan wilayah pesisir yang berkelanjutan.

Sinergi antara masyarakat dan pemerintah akan menjadi solusi utama untuk mewujudkan wilayah pesisir terpadu dan sejahtera. Dengan potensi kelautan Indonesia, bukan tidak mungkin bahwa masyarakat nelayan harusnya memiliki pendapatan di atas UMR dan dapat hidup sejahtera dengan bergantung pada hasil tangkapan laut. Pemerintah juga harus mengawasi dan membantu nelayan lokal dari ancaman kapal-kapal asing yang kerap kali melakukan illegal fishing di wilayah tangkapan ikan.

Selain pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut untuk mensejahterakan masyarakat pesisir, ICZM juga mempertimbangkan kerentanan bencana pesisir dalam pembangunan pesisir. Bencana tersebut bisa bersumber dari alam, non alam maupun sosial.

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain kegagalan teknologi, kegagalan moderenisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan manusia meliputi konflik sosial.

Kabupaten Serang dalam bingkai bencana

Kabupaten Serang, sebagai kabupaten pesisir di Provinsi Banten, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir sering mengalami beberapa kejadian bencana alam seperti banjir, gempa bumi, karhutla, kekeringan, angin puting beliung, dan tanah longsor, dimana bencana alam yang dominan terjadi adalah bencana angin puting beliung (https://dibi.bnpb.go.id).

Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) dalam rentang tahun 2012-2022, Kabupaten Serang mengalami berbagai bencana alam sebanyak 264 kali. Bencana alam tersebut di dominasi oleh angin puting beliung sebanyak 114 kali atau 10 kali dalam setahun dan banjir sebanyak 87 kali atau 8 kali dalam setahun.

Dari dapak bencana tersebut, angka kematian berada di angka nol atau tidak ada korban meninggal pada rentang tahun 2012 sampai dengan 2022, sedangkan korban menderita mencapai angka 111.607 korban atau 10.146 korban setiap tahunnya dengan angka tertinggi mencapai 64.461 korban pada banjir ditahun 2020.

Gambar 5. Peta Kerentanan Kabupaten Serang
Angka kerusakan rumah akibat bencana alam di Kabupaten Serang dalam rentang 2012 sampai dengan 2022 adalah 1641 rumah atau 150 rumah pertahunnya, dengan angka tertinggi terjadi pada bencana angin puting beliung di tahun 2012 sebanyak 437 rumah.

Menurut data INArisk BNPB, Kabupaten Serang memiliki indeks kerentanan 0,6 sampai 1,0 berdasarkan Gambar 4. Angka tersebut merupakan angka tertinggi dalam indeks kerentanan. Menurut peta analisis kerentanan ini, kerugian fisik akibat bencana banjir dan angin puting beliung adalah Rp. 3,3 M untuk banjir dan Rp. 12,6 M untuk angin puting beliung, untuk kerugian ekonomi Rp. 2,7 M untuk banjir dan Rp. 4,8 M untuk angin puting beliung, kerugian lingkungan mencapai 209 Ha untuk banjir.

Peta Kerentanan Pesisir Kabupaten Serang

Mitigasi bencana

Berdasarkan data bencana alam yang sering terjadi di Kabupaten Serang dalam waktu sepuluh tahun terakhir maka dapat dilakukan upaya mitigasi bencana. Upaya mitigasi yang dapat dilakukan adalah memperlebar drainase yang ada di titik banjir, membersihkan drainase dari sampah, membangun parit-parit baru untuk daerah rawan banjir, dan penguatan struktur rumah warga dengan memperhatikan faktor keselamatan dan faktor lingkungan.

INArisk merekomendasikan kebijakan dengan prioritas tiga dan prioritas empat. Prioritas tiga sendiri adalah pengembangan sistem informasi, diklat, dan logistik yang mencakup penerapan dan peningkatan fungsi informasi kebencanaan daerah, membangun partisipasi aktif masyarakat untuk pencegahan dan kesiapsiagaan bencana di lingkungannya, dan penyusunan kajian kebutuhan peralatan dan logistik kebencanaan Daerah.

Prioritas empat adalah penanganan tematik Kawasan rawan bencana yang mencakup Pengurangan Frekuensi dan Dampak Bencana Banjir melalui Penerapan Sumur Resapan dan Biopori, Pengurangan Frekuensi dan Dampak Bencana Banjir melalui Perlindungan Daerah Tangkapan Air, dan Penegakan Hukum untuk pelanggaran penerapan IMB khususnya bangunan tahan gempabumi.

Problem dan penanganan sampah

Kabupaten Serang juga terdapat masalah lain yaitu penanganan sampah domestik. Data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Serang memperkirakan volume sampah di Kabupaten Serang dengan asumsi jumlah penduduk Kabupaten Serang sebanyak 1.524.000 jiwa, jika 1 orang menghasilkan sampah 0,5 kg per hari, maka setiap harinya diperkirakan mencapai 762 ton. Namun kuota sampah yang dapat terangkut ke TPA Cilowong baru 80 – 100 ton per hari. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Banten tahun 2015, jumlah sampah rumah tangga Kabupaten Serang mencapai 567,742 ton/hari.

Sesuai data DLH Kabupaten Serang, pengelolaan sampah yang tidak berbahaya dari pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya ditangani oleh perusahaan pengolah sampah. Selain itu metode pengelolaan sampah berbeda-beda tergantung banyak hal, di antaranya tipe zat sampah, lahan yang digunakan untuk mengolah, dan ketersediaan lahan.

Pengelolaan sampah merupakan proses yang diperlukan dengan tujuan, pertama, mengubah sampah menjadi material yang memiliki nilai ekonomis atau pemanfaatan sampah, kedua, mengolah sampah agar menjadi material yang tidak membahayakan bagi lingkungan hidup.

Proses pertama dapat dilakukan melalui pemilahan sampah yang masih memiliki nilai secara materiil untuk digunakan kembali (reuse). Sementara proses kedua dapat dilakukan antara lain dengan daur ulang (recycle), dapat dengan mengambil bahan sampahnya untuk diproses lagi atau mengambil energi dari bahan yang bisa dibakar untuk membangkitkan listrik.

DLH Kabupaten Serang saat ini menangani masalah sampah dengan memilah dahulu sampah berdasarakan jenisnya serta memisahkan sampah yang masih memiliki nilai ekonomis setelah itu dilakukan 3R yaitu Reuse, Reduce, Recycle. Untuk proses ini DLH Kabupaten Serang berencana untuk membuat SPA (stasiun peralihan antara) sampah di 4 zona (barat, utara, timur dan selatan), yaitu upaya penanganan dan pengurangan sampah, yang nantinya dalam proses pengelolaan SPA tersebut ada kegiatan pemilahan, incinerator berbasis hidro, reuse dan recycle. Saat ini baru terealisasi penyediaan lahan SPA di dua zona (Utara dan Timur).

Upaya yang tak kalah penting adalah sosialisasi dan pelatihan pemanfaatan sampah, serta pemasyarakatan pembentukan bank-bank sampah di sekolah-sekolah dan lingkungan masyarakat guna membiasakan diri memilah sampah mulai dari sumbernya, rumah dan sekolah.

  • *) Mahasiswa S1 Teknik Kelautan FTK ITS
  • **) Dosen Teknik Kelautan FTK ITS
  • ***) BPSPL Denpasar

REKLAMASI PESISIR KOTA CIREBON; TANTANGAN IMPLEMENTASI ICZM

Akmal Lutfitansyah, Matthew Abel Emanuel, Farel Noval Jamaluddin, Bryan Kevina Candra (Fakultas Teknologi Kelautan FTK ITS)


Kawasan pesisir merupakan kawasan yang sangat sentral dan penting dalam suatu wilayah. Di sisi lain, kawasan ini juga berpotensi mengalami berbagai gangguan, misalnya komodifikasi ruang. Komodifikasi area pesisir oleh pihak-pihak tertentu dengan tujuan mengapitalisasi modal membuat area ini rentan berubah secara spasial.

Wujud komodifikasi itu, misalnya, membangun kawasan hunian baru (perumahan), infrastruktur transportasi, kawasan industri, mendirikan pelabuhan, mencetak lahan pertanian, melakukan budidaya tambak, dan industri pariwisata.

Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihan antara ekosistem laut dan darat yang dipengaruhi oleh perubahan di laut dan darat. Wilayah pesisir yang demikian kompleks kepentingan dan kebutuhan penghidupan, memerlukan pengelolaan yang berkelanjutan untuk meningkatkan nilai ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pengelolaan wilayah pesisir meliputi pemanfaatan, perencanaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan lautan.
Pembangunan kawasan pesisir harus mengacu pada prinsip keberkelanjutan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan.

Pembangunan kawasan pesisir yang berkelanjutan, sejatinya dapat dilakukan dengan cara reklamasi pantai (memperluas wilayah pesisir), minapolitan, pembangunan waterfront city, dan lain lain-lain, yang dikarenakan keterbatasan wilayah pesisir sehingga membuat perluasan area kearah laut menjadi tidak terhindarkan.

Untuk hal itu, pengelolaan wilayah pesisir agar terus berkelanjutan membutuhkan penataan yang terintegrasi dan terpadu dengan memenuhi berbagai fasilitas penunjang prasarana dan sarana di kawasan pesisir tersebut, inilah yang disebut konsep ICZM (Integrated Coastal Zone Management).

Waterfront city Kota Cirebon

Pembangunan waterfront city di berbagai lokasi ditujukan dapat mengatasi permasalahan keterbatasan wilayah yang kecil sebagai perluasan wilayah daratan, tak terkecuali Kota Cirebon yang sedang berkembang sekaligus memperbaiki kerusakan pantai akibat abrasi.

Reklamasi pesisir Kota Cirebon yang telah dilakukan secara bertahap, salah satunya untuk perluasan kawasan pelabuhan Cirebon, yang sangat dibutuhkan sebagai penunjang prasarana dan sarana pelabuhan sebagai pintu keluar masuk logistik Kota Cirebon.

Pembangunan waterfront city dengan cara reklamasi adalah untuk penempatan sarana penunjang pelabuhan, dan juga sekaligus dapat berfungsi memperbaiki kondisi kawasan pesisir dan menjaga agar tetap baik.

Selain itu disisi lain juga dapat desain sebuah kawasan budidaya yang terintegrasi dengan sarana pengolahan hasil budidaya tambak dan tangkapan laut, sehingga akan memperpendek rantai distribusi, hemat waktu, dan dengan tujuan dapat meningkatkan sektor perikanan dan kelautan yang memiliki potensi sangat besar dalam hal budidaya tambak serta pengolahan hasil laut, yang pada gilirannya juga dapat meningkatkan penghasilan petambak dan nelayan.

Kedua hal diatas penting dalam pembangunan waterfront city, mengingat Kota Cirebon memiliki posisi dengan letak geografis sangat strategis yang merupakan salah satu jalur utama pesisir utara Jawa dalam transportasi laut dari Jakarta menuju Jawa Barat dan Jawa Tengah di pesisir utara kota-kota wilayah ini.


Selain itu kondisi pesisir kota Cirebon yang terus memburuk akibat adanya abrasi dan sendimentasi baik dari sungai maupun akibat penumpukan sampah, yang berdampak pada sebagian besar pesisir pantai Kota Cirebon tidak layak lagi untuk dijadikan tempat pariwisata bahari.


Oleh karena itu, gagasan Pemerintah Kota dalam perencanaan pembangunan waterfront city perlu memperhatikan kondisi di sekitar pesisir pantai terutama gelombang laut, serta pola sedimentasi yang terjadi dan berbagai hal lainnya, guna melindungi pantai, salah satu caranya dengan memberikan pemecah gelombang lepas pantai.

Dengan permasalahan kawasan pesisir di kota Cirebon diatas, serta dengan kebutuhan ruang untuk pengembangan kota dan sarana logistik, serta untuk menghindari tumpang tindih alokasi ruang dan tidak memperburuk rusaknya kondisi fisik kawasan pesisir yang dapat mengancam keberlanjutan kehidupan penduduk pesisir, maka diperlukan keterpaduan dan koordinasi dalam penataan yang saling terintegrasi dan saling menunjang dalam kawasan waterfront city dari hasil reklamasi pesisir tersebut adalah dengan pendekatan ICZM.

Dampak positif yang diharapkan

Diharapkan dengan adanya reklamasi yang diatasnya dibangun waterfront city akan menjadi solusi pemecahan masalah kawasan pesisir Kota Cirebon, serta mendukung hubungan pola ruang dan elemen penting sosial ekonomi budaya masyarakat Kota Cirebon.

Selain diharapkan dapat mengatasi abrasi pantai dan pengelolaan sampah laut, kawasan watefront city juga dapat dialokasikan untuk pemukiman nelayan, sehingga kawasan nelayan yang biasanya terkesan kumuh dapat tertata dan terintegrasi dengan rencana pasar higienis dan industri pengolahan hasil laut nantinya.

Selain itu, Kota Cirebon sebagai salah satu tujuan wisata religi peninggalan Kesultanan Cirebon, dan tradisi batik khas Cirebon, batik trusmi juga menjadi salah satu daya tarik terkuat bagi pengembangan wisata bahari dan religi. Sehingga pembangunan waterfront city diharapkan dapat mengakomodir alokasi ruang untuk hal ini.

Dan yang terakhir untuk menjadi tempat pengolahan limbah mandiri dan terintegrasi, sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif sampah dan limbah domestik dan industri dikawasan waterfront city Kota Cirebon ini. Pada saat ini proyek pembangunan waterfront city Cirebon masih dalam tahap pembangunan dan masih berlanjut hingga sekarang, yang sudah dimulai sejak tahun 2018, dan semua unsur masyarakat Kota Cirebon terus berharap dampak positif dari pembagunan ini tidak hanya ada saat proses pembangunan dengan penyerapan tenaga kerja, namun juga setelah selesainya proyek dengan alokasi ruang yang terintegrasi diatasi.

REKLAMASI TELUK JAKARTA, RIWAYATMU KINI

DAMPAK EKOLOGI, SOSIAL, EKONOMI

Ilham Kurniawan, Napoleon Bonaparte Nakiva, Ikla Shafy (Teknik Kelautan FTK ITS)

Reklamasi adalah sebuah rekayasa lingkungan dengan cara menimbun suatu wilayah dengan material timbunan dengan luasan tertentu, pada dasarnya pelaksanaan reklamasi ini tentu memiliki dasar kepentingan tertentu sebelum diadakannya pelaksanaan pembangunan.

Pelaksanaan reklamasi sering mendapat pro dan kontra dari beberapa pihak, ada pihak yang mendukung reklamasi dengan alasan untuk pertumbuhan ekonomi dan sektor pariwisata, dan ada pihak lain yang menolak keras dengan alasan keselamatan lingkungan hidup.

Salah satu reklamasi yang mendapat perhatian masyarakat Indonesia adalah proyek Reklamasi Teluk Jakarta.

Kronologis Reklamasi Teluk Jakarta

Rencana reklamasi di Teluk Jakarta sudah ada sejak zaman orde baru, melalui Keputusan Presiden Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995.

Perjalanan proyek ini tidak berjalan mulus, luas wilayah yang akan direklamasi sekitar 2.700 hektar. Metode reklamasi yang digunakan adalah pengerukan sehingga lokasi reklamasi akan lebih tinggi daripada permukaan air, untuk pengerukannya membutuhkan 330 juta m3 bahan urukan termasuk pasir.

Reklamasi di Teluk Jakarta yang bertujuan untuk mengendalikan banjir di Jakarta dan sebagai area pengembangan bisnis di Jakarta, dilaksanakan dengan membangun tanggul raksasa (Jakarta Giant Sea Wall/JGSW) sepanjang 60 km di Teluk Jakarta dan pembangunan 17 pulau buatan di depan pantai. Kini melalui proses yang berliku telah terbangun 4 pulau, yaitu Pulau C, D, G dan N.

Izin pembangunan pulau reklamasi lainnya di Teluk Jakarta selanjutnya diverifikasi oleh Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dibentuk melalui Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2018.

Hasil verifikasi badan tersebut menunjukkan, para pengembang yang mengantongi izin reklamasi tidak melaksanakan kewajiban mereka. Ke-13 pulau tersebut yakni Pulau A, B, dan E (pemegang izin PT Kapuk Naga Indah); Pulau I, J, dan K (pemegang izin PT Pembangunan Jaya Ancol); Pulau M (pemegang izin PT Manggala Krida Yudha); Pulau O dan F (pemegang izin PT Jakarta Propertindo); Pulau P dan Q (pemegang izin PT KEK Marunda Jakarta); Pulau H (pemegang izin PT Taman Harapan Indah); dan Pulau I (pemegang izin PT Jaladri Kartika Paksi).

Selanjutnya ke-4 pulau yang telah tereklamasi, yakni Pulau C dan D (pemegang izin PT Kapuk Naga Indah), Pulau G (pemegang izin PT Muara Wisesa Samudra), dan Pulau N (pemegang izin PT Pelindo II) tetap dilanjutkan pembangunan sesuai peruntukannya. Dan Pemprov DKI Jakarta menugaskan PT Jakarta Propertindo untuk mengelola 3 pulau, yakni Pulau C, Pulau D, dan Pulau G, selama sepuluh tahun. Penugasan itu tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 120 Tahun 2018.

Selanjutnya Pemprov DKI Jakarta mengubah nama ke-3 pulau ini. Pulau C, D, dan G diganti menjadi Kawasan Pantai Kita, Kawasan Pantai Maju, dan Kawasan Pantai Bersama.

Desain Pulau Reklamasi Teluk Jakarta

Dampak Positif

Dengan dilanjutkannya proyek pembangunan ke-4 pulau hasil reklamasi, diharapkan memberikan dampak positif.

Pertama, membuka lapangan pekerjaan baru karena adanya pembangunan properti sehingga kebutuhan akan lapangan kerja untuk konstruksi juga akan terbuka, selain itu juga terbuka peluang bidang usaha baru, seperti restoran, hiburan, dan wisata.

Kedua, dapat mengantisipasi pasang surut air laut menjadikannya bendungan untuk menahan kenaikan air laut/banjir rob, dapat memecah gelombang, dan mengurangi risiko abrasi. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagian besar pantai utara Jakarta adalah kawasan yang setiap tahun selalu rawan banjir rob, akibat pasang air laut yang selalu naik ke daratan.

Ketiga, memberikan akses tempat tinggal, tempat usaha dan tempat fasilitas publik lainnya bagi penduduk Jakarta. Hal ini didukung Pemprov DKI Jakarta yang menugaskan PT Jakpro untuk mengelola lahan kontribusi hasil reklamasi untuk pembangunan prasarana publik. Prasarana yang dimaksud antara lain rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah, pasar tematik ikan, restoran ikan, tempat ibadah, kantor pemerintah, dan dermaga. Selain itu, pantai reklamasi juga bakal menjadi pantai pertama di Jakarta yang benar-benar gratis untuk publik.

Dampak negatif

Selain memberikan manfaat, dampak negatif yang mungkin timbul perlu dikelola dengan baik, misalnya tata kelola air, tata kelola sampah, dan ekosistem laut.

Timbulan sampah baik dari industri, restoran, dan rumah tangga dari kawasan pulau buatan tersebut tentunya akan membutuhkan lahan baru dalam pengelolaan sampah, dimana saat ini saja lahan untuk pengelolaan/TPA sampah Jakarta sudah tidak ada, dan menggunakan daerah penyangga Jakarta, misalnya Bekasi, Bogor, dan Tangerang. Ini juga membuat tantangan baru terkait pengelolaan sampah rumah tangga, termasuk juga limbah domestik rumah tangga agar tidak mencemari lingkungan laut sekitarnya, karena jika langsung terbuang ke saluran umum akan langsung mencemari laut

Sistem tata kelola air di wilayah pesisir, dimanq ada 13 sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta nantinya akan bertambah panjang 1,5 kilometer, tetapi dasar sungai menjadi sangat landai hingga ketinggian muara baru hasil reklamasi menjadi nol meter sehingga air sungai sulit mengalir ke laut dengan rendahnya muara sungai, dan tentunya akan berdampak pada banjir rob disepanjang bantaran sungai dan pesisir.

Selain itu hilang/berkurang nya ekosistem bagi biota laut karena wilayah perairan Teluk Jakarta merupakan tipe ekosistem komplek yang di dalamnya terdapat hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuari, sehingga berdampak pada hasil tangkapan nelayan sekitar, bahkan dikhawatirkan akan hilangnya mata pencaharian sebagian besar nelayan, karena selain berkurang nya hasil tangkapan, mungkin juga beralih profesi menjadi tenaga kerja di tempat-tempat usaha baru di pulau buatan ini.

Kemungkinan terjadinya dampak lanjutan adalah terjadi sedimentasi dan pengendapan sedimen ke dasar perairan yang dapat merubah dasar perairan dan membahayakan alur pelayaran, pelabuhan dan beberapa objek vital lainnya, misalnya Pelabuhan Sunda Kelapa, Pelabuhan Tanjung Priok, dan PLTGU Muara Karang. Selain karena ancaman sedimentasi sehingga mempengaruhi area labuh dan keluar masuk kapal, diprediksi akibat reklamasi dapat menaikkan suhu air laut 1-2 derajat.

Mitigasi Dampak Negatif

Untuk memperbaiki ekosistem yang hilang/rusak perlu menambah/membangun ekosistem baru, misalnya melakukan rehabilitasi ekosistem mangrove di bagian timur Teluk Jakarta yaitu di sekitar Muara Gembong hingga Tanjung Karawang untuk menjaga fungsinya sebagai daerah asuhan ikan dan udang, serta di bagian barat di pesisir Tangerang.

Untuk tata kelola air, diperlukan waduk/embung serta pompanisasi untuk pengendalian banjir rob yang mungkin terjadi.

Untuk pengelolaan sampah dan limbah domestik, diperlukan sistem pengelolaan limbah terpadu dan terintegrasi di setiap lulau, agar tidak terbuang ke badan air dan mencemari laut.

Untuk tatakelo sampah sebaiknya didaur ulang di dalam pulau, bahkan dapat dialokasikan lahan dan teknologi untuk pembangunan PLTS (pembangkit listrik tenaga sampah).

INTEGRASI WISATA BAHARI DALAM PENGEMBANGAN PESISIR PUGER KABUPATEN JEMBER

Anggita Deva Ariyanti, Diva Rahmah Ahidah, Aldrien Kurnia Magistra, Muhammad Danu Briliant, Ahmad Faramarz Ghalizan (Teknik Kelautan FTK ITS)


Perairan pesisir sebagai daerah pertemuan darat dan laut, yang mendapat pengaruh sifat-sifat laut, seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air laut, serta masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, merupakan wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam yang sangat beragam yang dapat dimanfaatkan, antara lain sektor perikanan, peternakan, pertanian, dan pariwisata.

Khusus membahas sektor pariwisata, maka jasa akomodasi, transportasi, home furnishing, dan kerajinan tangan, serta jasa pemandu wisata dapat dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Optimalisasi ODTW wisata bahari melalui ICZM

Secara umum pengembangan pariwisata suatu wilayah akan lebih maksimal apabila dikembangkan dengan integrasi dalam konsep totalitas produk wisata yang saling terkait. I Gusti B.R. Utama (2013) menyebutkan bahwa komponen utama dalam integrasi pariwisata terdiri dari kedekatan ODTW (objek daya tarik wisata), aksesibilitas berupa ketersediaan jaringan jalan dan ketersediaan moda transportasi, fasilitas pendukung berupa hotel dan restoran, dan jaringan penunjang, serta kelembagaan baik dari pemerintah, pengelola, investor, maupun keterlibatan masyarakat lokal.

Pengembangan pariwisata merupakan kemampuan mengintegrasikan ODTW dengan aspek penunjangnya terutama kapabilitas pengelola dan stakeholders terkait untuk mengoptimalkan potensi wisata sehingga mampu membangun lingkungan yang nyaman untuk wisatawan ketika mereka melakukan perjalanan wisata.

Dalam rangka mengoptimalkan dampak positif serta mengelola dampak negatif yang kemungkinan dapat terjadi adalah melalui pendekatan pengelolaan pesisir terpadu (ICZM. ICZM/Integrated Coastal Zone Management) adalah suatu pendekatan yang menyeluruh yang dikenal dalam pengelolaan wilayah pesisir. ICZM merupakan suatu pedoman untuk mengelola kawasan pesisir secara terpadu. Konsep ini membutuhkan kemampuan kelembagaan untuk menangani masalah-masalah intersektoral seperti lintas disiplin ilmu, kewenangan-kewenangan dari lembaga pemerintah, dan batas-batas kelembagaan.

Pada dasarnya ICZM adalah konsep pengelolaan pesisir yang mengikutsertakan peran masyarakat, sehingga diharapkan masyarakat akan turut merasa memiliki tanggung jawab terhadap kawasan pesisir yang menjadi daerah huniannya. ICZM dan sustainable development menjadi satu kolaborasi yang sangat baik apabila dilaksanakan sesuai dengan aturannya.

Pantai Puger

Kawasan pesisir Puger adalah salah satu wilayah di Kecamatan Puger Kabupaten Jember yang terletak di wilayah pantai selatan Kabupaten Jember, berjarak kira-kira 39 km arah selatan Kota Jember. Kawasan pantai Puger mencakup dua wilayah desa yaitu Desa Puger Wetan dan Desa Puger Kulon, dengan potensi sumber daya alam yang dominan adalah perikanan laut.

Kampung Nelayan yang berada di Desa Puger Wetan berada dikawasan tepi Sungai Bedadung, sedangkan Kampung Nelayan yang berada di Desa Puger Kulon berada di kawasan tepi Sungai Besini. Kedua kampung nelayan tersebut dibatasi oleh kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Puger yang terletak di tepi muara kedua sungai tersebut menuju Samudera Indonesia.

Secara umum penduduk Puger dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu penduduk asli dan penduduk pendatang (masyarakat migran). Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, pengolah hasil perikanan, serta pedagang ikan. Angka pertumbuhan penduduk di Puger semakin meningkat terkait dengan tingkat natalitas, mortalitas, dan mobilitasnya. Dengan demikian, diperkirakan dalam beberapa tahun mendatang wilayah permukiman Puger akan semakin padat seiring dengan kebutuhan hunian di Puger.

Wisata pantai dan surfing

Pada Kawasan Pesisir Puger terdapat beberapa zona yang berpotensi dijadikan zona pariwisata khususnya wisata bahari. Terdapat beberapa pantai di sepanjang kawasan pesisir ini, antara lain Pantai Pancer, Pantai Cemara, dan Pantai Getem, yang menyuguhkan pemandangan khas pantai dan laut. Beberapa pantai ini berpotensi dijadikan zona pariwisata, terutama juga ditunjang dengan aksesnya yang terbilang cukup mudah serta dilalui oleh Jalur Lintas Selatan (JLS).

Pantai Pancer atau yang sering diketahui sebagai Pantai Puger, terletak di Desa Puger Kulon. Sesuai dengan letaknya, pantai ini merupakan pantai selatan yang ombaknya terbilang besar karena berbatasan langsung dengan samudera Hindia. Hal ini membuat pantai ini berpotensi untuk digunakan untuk surfing. Di pantai ini, banyak pemandangan-pemandangan eksotis yang dapat dilihat. Selain itu juga terdapat bangunan pemecah ombak, breakwater, yang menambah nilai plus pantai ini. Pantai ini juga dilengkapi dengan mercususar, yang juga berpotensi dijadikan pusat wisata.

Selain itu, potensi perikanan laut serta keberadaan Pelabuhan Pelelangan Ikan (PPI) Puger sebagai tempat pendaratan ikan dari berbagai wilayah penangkapan ikan yang terdapat di Kabupaten Jember, merupakan kawasan yang sangat ramai bagi pengusaha dan pedagang ikan dari luar daerah, serta destinasi menarik penghobi kuliner ikan laut serta memancing.

Ritual Larung Sesaji

Keunikan budaya berupa adat istiadat juga masih berlaku pada masyarakat di Kawasan Pesisir Puger, yaitu Upacara Petik Laut/Larung Sesaji. Tujuan Petik Laut dilakukan adalah sebagai bentuk rasa syukur dari masyarakat atas berkah ikan yang didapat dalam kurun waktu satu tahun, serta sebagai bentuk permohonan agar dijauhkan dari marabahaya dari laut. Awal ritual Petik Laut/Larung Sesaji adalah menghantar sesajen yang biasanya dibuat oleh sesepuh desa/tokoh desa dan dibawa ke Balai Desa untuk didoakan oleh seluruh masyarakat Desa setempat.

Sesajen utama biasanya menggunakan kepala kambing atau kepala sapi. Sesajen lainnya adalah tumpeng, patung penganten, ayam putih, dan makanan-makanan lain yang umum dimakan oleh masyarakat nelayan kelas bangsawan dengan harapan agar masyarakat semuanya bisa menikmati makanan yang serupa dikemudian hari. Sesajen ini kemudian diletakkan di dalam perahu kecil yang nantinya akan dilarung.

Peningkatan SDM wisata bahari

Upaya pengembangan kawasan Pesisir Puger salah satunya berupa peningkatan kualitas sumber saya manusia. Keterampilan merupakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Keterampilan yang perlu ditingkatkan adalah keterampilan yang mendukung potensi wisata seperti membuat pigura dan tirai dari rumah keong, produksi olahan hasil laut, dan lainnya. Maka dari itu, pihak perangkat desa harus dapat bekerja sama dengan pihak pemerintah pusat, swasta, dan akademisi dalam membuat acara-acara pelatihan yang menarik minat warga sehingga mereka lebih termotivasi untuk meningkatkan keterampilan.

Integrasi ODTW dalam ICZM

Kedekatan geografis antar obyek wisata merupakan komponen utama dalam melakukan integrasi pariwisata dan juga batas dasar spasial dalam integrasi pariwisata. Komponen utama dalam integrasi pariwisata salah satunya adalah ketersediaan jalan penghubung disertai dengan moda transportasinya. Selain itu, keterjangkauan moda transportasi penghubung juga merupakan aspek yang harus diperhatikan dalam integrasi pariwisata. Hal yang perlu diperhatikan dari ketersediaan moda transportasi publik adalah kesamaan jalurnya, sehingga aksesibilitas antar obyek wisata akan lebih mudah.

Aspek lain yang dianggap berpengaruh dalam pembentukan integrasi pariwisata adalah sarana wisata. Contohnya seperti ketersediaan fasilitas pendukung, fasilitas akomodasi dan entertainment. Selain ketersediaan fasilitas pendukung, diperlukan keterpaduan antar fasilitas tersebut untuk membentuk integrasi pariwisata yang kohesif.

Selanjutnya, aspek non-fisik (intangible) yang diperlukan dalam integrasi pariwisata adalah pengelolaan. Pengelolaan tersebut berupa integrasi antara pengelola obyek wisata dengan travel agen, dan perlu melibatkan masyarakat lokal sebagai bentuk integrasi pada aspek pengelolaan. Keterpaduan tidak hanya antar dua pihak, namun juga harus menyangkut seluruh stakeholders terkait, yaitu pemerintah, pengelola, investor, dan masyakarat lokal.

ICZM dalam integrasi wisata bahari Pantai Puger

Dari seluruh penjelasan diatas, konsep ICZM berfungsi dalam membantu pengintegrasian wisata Pantai Puger dengan semua kebutuhan fasilitas yang diperlukan dalam pengembangan daerah wisata tersebut.

Dengan menerapkan konsep ICZM, maka terdapat faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan pariwisata terintegrasi di Kawasan Wisata Puger, Kabupaten Jember diantaranya adalah faktor kedekatan daya tarik wisata, keberagaman daya tarik budaya, keberagaman daya tarik wisata alam, pusat informasi, jalan menuju pbyek wisata, moda transportasi menuju obyek wisata, jalan penghubung, sarana transportasi penghubung, rambu-rambu penunjuk jalan, peran masyarakat, peran pemerintah, peran swasta, promosi dan publikan, serta kebijakan.

MARINE ECO TOURISM DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

Mevlevi Haydar As Shafa, Gede Manik Aryadatta Narendra,Zein Afandi, I Putu Crisna Putra Ardhika, Athif Izza Maula (Teknik Kelautan FTK ITS)

Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke dan menjadi negara maritim di dunia dengan luas teritorial lautnya mencapai 6.4 juta km2 atau 63% dari total keseluruhan wilayah negara Indonesia (Pushidrosal, 2018). Hal ini menjadikan
wilayah pesisir Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah.

Keberadaan sumber daya alam yang melimpah tersebut menjadikan wilayah pesisir Indonesia yang sangat panjang tersebut sangat produktif dan berpotensial besar dalam pengembangan perekonomian (Supriharyono, 2007).

Eco-tourism

Pemanfaatan di wilayah pesisir memang berpotensial dalam membantu pertumbuhan ekonomi wilayah seperti contohnya yakni pemanfaatan wilayah pesisir sebagai objek pariwisata. Ekowisata bahari (Marine Eco-Tourism) merupakan konsep kegiatan wisata berbasis alam dengan dampak negatif yang minimal terhadap lingkungan. Konsep wisata ini bertujuan untuk mencapai hubungan yang lebih berkelanjutan antara alam, sosial-budaya, ekonomi dan tetap mengandung nilai edukasi kepada masyarakat. Disisi lain ekowisata bahari sebagai suatu bentuk atau upaya dari reaksi terhadap keberlanjutan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara bersamaan di wilayah pesisir.

Taman Nasional Karimunjawa

Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di Kabupaten Jepara. Di TNKJ terdapat kekayaan keanekaragaman hayati dimana memiliki 72 genera karang dari 19 famili. Acropora dan Porites merupakan genera karang yang mendominasi di keseluruhan gugusan terumbu dengan berbagai bentuk pertumbuhan (Muttaqin et al.,2013).

Pemandangan alam bawah laut Karimunjawa

Dengan ekosistem terumbu karang yang terjaga diatas, menjadikan habitat ikan karang sebagai sumber mata pencaharian nelayan sekitar. Terdapat 16 famili ikan karang yang teridentifikasi di TNKJ, terdiri atas: Acanthuridae, Balistidae, Caesionidae, Chaetodontidae, Haemulidae, Labridae,

Lethrinidae, Lutjanidae, Mullidae, Nemipteridae, Pomacanthidae, Pomacentridae, Scaridae,
Serranidae, Siganidae
, dan Tetradontidae.
Dimana hasil tangkapan utama nelayan sekitar adalah ikan ekor kuning (Caesio cuning, Caesio teres) dan ikan pisang-pisang (Caesio caerulaurea). Sejak tahun 2010 terjadi peningkatan famili Pomacentridae sejak diberlakukannya larangan penangkapan ikan hias di TNKJ. Famili Caesionidae, juga mengalami peningkatan kelimpahan sebagai hasil dari semakin berkurangnya kegiatan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing).

Sebagai kawasan konservasi, kegiatan pariwisata di TNKJ juga mendapat perhatian utama. Para wisatawan yang datang ke TNKJ harus merupakan wisatawan yang “cerdas” dengan tidak merusak alam sekitar ketika melakukan kegiatan wisata seperti misalnya snorkling dan diving. Hal lain yang tidak diperbolehkan adalah membuang sampah sembarangan karena dapat mengganggu ekosistem perairan Karimunjawa.

Tidak hanya kegiatan pariwisata, kegiatan nelayan juga harus diperhatikan. Seperti misalnya menggunakan cara penangkapan ikan yang bersifat destructive dan tidak menangkap yang tergolong ikan hias. Jika kegiatan wisata dan kegiatan nelayan dapat bersinergi maka tentunya dapat menjaga kelestarian ekosistem TNKJ.

Pariwisata Bahari TNKJ

Setiap tahunnya TNKJ telah menerima kunjungan wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara, oleh karena itu TNKJ merupakan salah satu daerah tujuan wisata unggulan di Jawa Tengah. Pada tahun 2019 rentang bulan Januari sampai Maret, jumlah pengunjung ke kawasan TNKJ berjumlah 21.919 orang. Berdasarkan asal pengunjung secara umum terdapat 20.678 pengunjung domestik dan 1.241 pengunjung mancanegara (Disparbud Jepara, 2019).

Berdasarkan data tersebut jumlah wisatawan selalu meningkat dari tahun ke tahun sebelum
akhirnya menurun ketika pandemi covid-19.

Peran ICZM dalam Pengembangan Ekowisata Bahari di TNKJ

Pngelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (ICZM) adalah kunci untuk menyelesaikan masalah dan
konflik kelestarian alam dan pariwisara di TNKJ adalah sangat kompleks. Berdasarkan karakteristik dan dinamika alam pesisir TNKJ, potensi dan permasalahannya, ICZM merupakan alternatif dalam pembangunan pesisir serta mencapai sistem kelautan secara optimal dan berkelanjutan. Dalam prakteknya perlu adanya koordinasi terintegrasi antar lembaga/institusi untuk menyelaraskan antara kepentingan, prioritas, dan tindakan.

Oleh karena itu, peranan ICZM sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat
sekitar pesisir Karimunjawa yang bergantung pada sumber daya pesisir, serta menyediakan
kebutuhan pembangunan (khususnya pembangunan yang bergantung pada pesisir) dengan tetap mempertahankan keanekaragaman dan produktivitas ekosistem pesisir untuk mencapai dan mempertahankan fungsi dan/atau tingkat kualitas sistem pesisir yang diinginkan.