Pemerintah sadar ketergantungan terhadap impor BBM dan LPG, dimana sejak tahun 2004, Indonesia telah menjadi negara pengimpor minyak netto (net oil importer). Hal tersebut disebabkan karena kebutuhan minyak yang terus meningkat sementara produksinya terus menurun.
Peningkatan konsumsi minyak dalam negeri merupakan dampak dari pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Peningkatan konsumsi BBM dalam negeri juga disebabkan pola konsumsi yang sangat boros atau tidak efisien, yang salah satunya karena pemakaian BBM yang sebagian masih disubsidi.
Borosnya energi Indonesia tercermin dari tingginya indikator elastisitas energi, yang merupakan perbandingan antara pertumbuhan konsurnsi energi dengan pertumbuhan ekonomi. Elastisitas energi dalam 5 tahun terakhir masih di atas 1, padahal idealnya di bawah 1.
Kondisi ini diperburuk dengan terbatasnya fasilitas kilang minyak yang tidak mengalami penambahan berarti sejak pembangunan kilang Salongan pada tahun 1994, sehingga impor S8M terus meningkat. Saat ini, terdapat 7 kilang PT Pertamina (Persero) dan empat kilang nonPT Pertamina (Persero) dengan kemampuan produksi BBM sekitar 681 ribu BOPD.
Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional terbit diharapakan untuk menjawab itu. Perpres ini bersumber dari Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional (DEN) ke 3 (tiga) tanggal 22 Juni 2016, dimana telah disepakati Rancangan Rencana Umum Energi Nasional menjadi Rencana Umum Energi Nasional .
Perpres ini sebagai tindak lanjut dari PP No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), yang merupakan merupakan tugas Dewan Energi Nasional (DEN). Selanjutnay tugas berat pemerintah provinsi yang harus menyusun RUED (Rencana Umum Energi Daerah). Semoga tidak ruet.
more document..Perpres 22 Tahun 2017 tentang RUEN